1/16/2016

Jaga darah ke-tidak antengan-mu

Bismillah, nulis lagi, menyapa sahabat blogger lagi, heheh..
Malam pagi ini pengen nulis sih gara-gara dapet wejangan yang super panjang dari abang tercintah. Wkwkwk. Ya, saya sangat suka kalau orang-orang disekitar saya kasih nasihat-nasihat, dan saya sangat beruntung karena itu artinya banyak orang yang mencintai saya. duh
Wejangan pagi ini yang lagi-lagi bikin saya mikir keras sekaligus nyesek adalah
"Saya tau kenapa kamu itu gak bisa anteng, pengen kesana kemari.. Wong darahmu itu lho ngalirnya udah kayak gitu. Itu lihat keluargamu, alm. mbah kakung, abah, ibuk, mas, om, tante, budhe, ponakan, dll. emang ada yang bisa anteng? Dari yang paling deket sampek yang paling jauh, ada yang bisa diem dirumah lama2? Hahaha.. Sediem-diemnya kamu, pasti gak betah juga kalo nggak mlipir.. Namanya buah gak bakal jatuh dari pohonnya sih, kecuali kalo jatuhnya ke sungai, wkwkw.. Tapi ya inget, mereka bisa kesana kemari kan juga ada proses. Emang abah ibukmu jadi pegiat yang kata orang2 'aktivis' itu gak butuh proses? nggak ngejalanin yang namanya tirakat diem lama? Ya jelas ada lah.. Mereka semua bisa kayak gini karena dulunya juga bisa istiqomah untuk diem, diem dengan tetap menganalisis lingkungan, diem dengan belajar banyak tentang kehidupan. Dan pada akhirnya mereka bisa kayak gini. Ya karena diem, karena manut. Gak usah sok-sok'an pengen kayak mereka, jalannya manusia itu beda-beda nduk. Mereka bisa berjuang diluar saat ini karena jatah mereka ya itu. Mungkin Allah pengen kamu belajar dulu, dengan melihat perjuangan mereka di luar sana, dari sini. Yang penting, terus belajar jadi lebih baik, jadi ketika jatahmu untuk ikut berjuang diluar sana datang, kamu bisa jadi orang yang lebih bermanfaat.. Hahaha, kenapa gue jadi sok bijak sama elu nduk? Wkwkwk, yang jelas jaga darah pejuangmu, jaga ketidak-anteng-an yang diturunkan kepadamu. Salam ngopi nduk, ndang turu.. Hahah"
Tengah malem diceramahin panjang lebar kayak gitu, dan akhirnya saya bener-bener bisa mikir. Saya gak boleh nyalahin diri sendiri kenapa suka banget sama banyak hal, suka banget berpetualang, suka banget sama kegilaan. Ini udah dari sono-nya bro.. Hahahah, iya sih, inget lah gimana Mbah Kakung yang dulu hampir di tangkap sama penjajah, inget lah abah yang sejak lulus SD langsung hijrah dari rumah buat tholabul ilmi di pesantren sampek kuliah, inget lah Ibuk yang berjuang biar bisa lanjut kuliah meski ditentang keluarga habis-habisan, dan ingetlah kisah-kisah yang pernah diceritain ke kamu, nduk.
Dan wejangan ini sebenernya sekaligus mecahin kebaperan yang melanda hayati karena nggak bisa ikut hurmat MUNAS 2 KMNU di Bandung besok Jum'at. Huhuhu..
Baiklah, manusia ada jatahnya sendiri-sendiri kok. Kapan berjuang diluar, kapan berjuang di dalam. Yang jelas, saya harus tetap belajar, toh belajar juga bentuk dari perjuangan. Mungkin ini waktunya buat istiqomahin diri jadi gadis yang 'manut', yang nggak banyak polah tingkah, yang nggak ngeyel, dan nggak-nggak lainnya. Dan lebih dari itu, semoga keistiqomahan membuat saya lebih bermanfaat untuk banyak orang fi dunya hattal akhiroh.. 
Oke, salam semangat untuk para pejuang, nyantri iku yo berjuang, dan tak lupa salam NGOPI untuk INDONESIA

1/14/2016

Sensivitas, Persepsi, Relativitas


Sensitif. Jika membaca kata ini mungkin kita akan terlempar pada beberapa kasus yang menjadi sangat sensitif akhir-akhir ini. Terlebih jika dikaitkan dengan masalah kemanusiaan, apalagi agama.
Baru saja beberapa hari yang lalu, atau kemarin, kita dihebohkan dengan kasus pembuatan terompet dari sampul Al-Qur'an, tulisan arab pada pakaian yang dikenakan oleh Agnez Mo (yang sebenarnya itu bermakna kesatuan, persatuan), dan berbagai kasus yang dianggap sebagai penistaan agama. Saya tidak akan berkomentar panjang lebar mengenai kasus-kasus ini, tidak, cukup saudara-saudara yang lebih paham saja yang mengomentari, meskipun saya juga pendapat, tapi, ah, untuk apa saya menjelaskan pendapat saya, yang mungkin akan berbuntut pada pro kontra tak berkesudahan.
Saya hanya sedang mencoba memaknai kejadian ini dalam sudut pandang apa yang sedang saya pelajari, psikologi, dengan teori barat sebenarnya. Mengapa isu-isu tersebut menjadi kian marak dan membombardir jagat kehidupan masyarakat Indonesia? Di setiap sudut, baik dunia nyata maupun maya membicarakannya, beradu argumen dengan segala kepahamannya dan berujung pada pertengkaran. Ah, kebencian semakin marak dan seolah menjadi tren di jaman sekarang.
Dalam khazanah ilmu psikologi, setiap kejadian yang muncul dalam kehidupan sebenarnya akan berdampak pada persepsi, yaitu penilaian seseorang terhadap satu kejadian yang ia tangkap melalui penginderaan. Dari persepsi ini kemudian memunculkan suatu Relativitas. Mengapa saya katakan relativitas, karena sebenarnya baik-buruk, benar-salah, putih-hitam menurut manusia hanya suatu kerelativan, bukan suatu kesaklekan yang benar-benar adanya.
Menurut salah satu buku yang saya baca, persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara satu individu dengan individu lain. (Walgito, 2008)
Dari penjelasan tersebut, terbuka sudah mengapa satu masalah bisa menjadi sangat besar, ya karena adanya persepsi. Setiap orang dengan segala perasaan, pemikiran dan pengalaman yang dimilikinya saling berkomentar seolah-olah mereka yang paling benar, ya benar, menurut mereka, menurut yang lain? Belum tentu. Karena sekali lagi, kebenaran dalam sudut pandang manusia itu relatif. 
Namun inilah yang kurang disadari oleh kita-kita ini, perasaan paling benar yang memenuhi diri membuat kita saling menyalahkan, menjelek-jelekkan individu lain karena berbeda pendapat. Ujung-ujungnya apa? Ribut, berantem, yang lebih menyakitkan, dari awalnya saudara menjadi musuh. Lhah kan ini udah salah, dosa. 
Jadi, intinya, monggo menyikapi segala sesuatunya dengan bijak. Berkomentar ya monggo, wong itu hak setiap orang. Tapi jangan sampailah kita bertengkar dengan orang lain karena berbeda komentar. Duh, kapan dunia bisa damai rek-rek kalau beda persepsi dijadikan alasan berantem. Ya kalo beda pendapat, monggo dirundingkan, duduk bareng ngobrol santai, ditemani secangkir kopi hitam dan kawan-kawan berupa gorengan karo kacang kan disawang ayem.
Kalau kata guru saya, "Kalau kalian mau duduk bareng mendiskusikan perbedaan pendapat, yang kalian temukan hanya berupa lawakan. Lha kok lawakan? Lha iya, wong gak ada yang salah, nggak ada yang bener. Yang salah itu kalo kalian mikir pakek otot bukan pakek otak, yang bener itu ya mung Gusti Allah Ta'ala."
Akhir kata dari saya, semoga kedamaian selalu menyertai kita..
Salam NGOPI (Ngolah Pikir) untuk INDONESIA yang tak kunjung berdamai.. duh

Sehelai rambutmu, kunci surga dan neraka ayah serta saudara laki-lakimu

Assalamualaikum sahabat blogger (entah ada yang berkenan membaca ataupun enggak) heheh...
Hari ini saya hanya ingin menulis, sebenarnya karena faktor ketidaksengajaan membaca status temen di line sih, akhirnya muncul ghiroh untuk menulis tentang ini..
Ini bukan ajakan, bukan, tidak juga perintah, apalagi nasihat, siapa saya ingin menasihati njenengan2 semua. lebih dari itu, sebenarnya ini 'tamparan' bagi diri saya sendiri; tentu bukan secara fisik, tapi hati, jiwa. Tulisan ini sejujurnya adalah pangeling-eling bagi diri saya.
Kurang lebih status yang memotivasi saya pagi ini adalah ini:
S: Aku ; A: Ayah
A: Sayang ga sama ayah?
S: Sayang
A: Kamu mau ayah masuk neraka?
S: Enggak atuh yah
A: Kl gtu tutup auratmu, pake jilbabmu, karna kl km ngebuka aurat, setiap langkahmu mengantar ayah ke neraka
Naudzubillah, ini yang membuat saya memekik dalam diam sesaat. Saya tiba-tiba ingat wajah yang kian sepuh abah saya di rumah, tubuh yang tak sekuat dulu yang sering menggendong saya saat kecil. Lalu apa yang telah saya berikan kepada beliau? Atau mungkinkah selama hidup saya, hanya membuka sedikit demi sedikit pintu neraka untuk beliau. Allahu Robbi, ampunilah jika itu yang terjadi :(
Saya masih ingat dalam satu kesempatan, guru saya menjelaskan bahwa sehelai rambut kita bisa mengantarkan ayah dan saudara laki-laki kita masuk neraka (saya dilupakan apakah ini salah satu hadits atau apa karena kemalasan saya dalam belajar). Lalu dengan segala tingkah kendablegan saya selama ini, saya antarkan kemana abah dan keempat saudara laki-laki saya? Astaghfirullah, bukankah sangat hina jika saya hidup hanya untuk menjerumuskan lima orang pria, ya, lima orang sekaligus, yang seumur hidup menjadi kebahagiaan karena memiliki mereka. :(
Sekali lagi ini bukan nasihat untuk njenengan semua, bukan pula saya memerintah para hawa untuk menutup aurat berupa rambut dengan jilbab. Bukan, sungguh bukan niatan saya menyinggung tentang sesuatu yang akhir-akhir ini menjadi sangat sensitif. Karena berjilbab adalah pilihan, meskipun sebenarnya berjilbab adalah kewajiban.
Ini hanya sederet peringatan dalam diri saya sendiri, bermusahabah apakah jalan hidup saya sudah benar, ataukah malah sangat melenceng jauh dari kesejatian. Ini adalah peringatan bagi saya, bahwa yang menjadi pilihan saya bukan hanya berdampak pada diri saya sendiri, bukan, lebih dari itu, berdampak besar bagi orang lain disekitar saya. Dan ini sebagai pacuan saya, untuk selalu berpikir berpikir dan berpikir sebelum melangkah.. Yah, sederet kalimat ini adalah ikhtiar saya dalam pendewasaan, istajib Ya Allah...

1/07/2016

Motivation Letter




“Saya Mencintainya dan Saya Bertanggung Jawab Meneruskan Perjuangannya”
(Nabila Dina Azkiyah, mahasiswa semester 4 Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro)

Nabila Dina Azkiyah, sebuah nama yang diberikan oleh pasangan suami istri pada bayi perempuan yang lahir 30 April, 20 tahun silam. Berharap sang putri kecil akan menjadi wanita sesuai dengan makna dari namanya “Pemimpin Agama yang cerdas”. Nabila, itulah saya. Seorang putri ke-3 dari 6 bersaudara pasangan guru madrasah di perbatasan Kabupaten Kediri, Jawa Timur.  
Duduk di bangku kuliah semester empat, saya menyandang gelar sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi sejak tahun 2013 yang lalu. Mahasiswa yang alhamdulillah dapat menikmati pendidikan di perguruan tinggi dengan bantuan beasiswa bidikmisi. Tak hanya itu, Allah sangat baik hingga mengizinkan saya menikmati indahnya kehidupan pesantren. Tempat bagi orang-orang yang haus akan ilmu agama islam, tempat yang menjadi miniatur kehidupan kelak kata orang.
Sejak kecil, orang tua saya mengajarkan banyak hal tentang agama islam, ahlussunnah wal jama’ah ala Nahdlatul Ulama khususnya. Tak hanya itu, jiwa aktivis pergerakan yang melekat pada kedua orang tua saya sejak kuliah, menjadikan beliau mendidik keenam anaknya secara moderat dan kritis. Penuh dengan toleransi, tanpa melupakan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Agama Islam Rahmatan lil ‘alamin-Nya. Seperti ketika berteman dengan orang lain, beliau tidak pernah membatasi saya meskipun dengan orang beda pemahaman terutama keyakinan.
KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih sering dipanggil Gus Dur, adalah salah satu tokoh idola orang tua saya. Sejak kecil, beliau sering mengenalkan saya pada Gus Dur lewat cerita-cerita atau berita media massa yang mengupas perjalanan almarhum presiden ke-4 NKRI ini. Seperti yang dikenal oleh rakyat Indonesia, orang tua saya seringkali mengatakan bahwa Gus Dur adalah sosok yang fenomenal. Dimana setiap ucapan dan tindakannya penuh dengan kontroversi. Dari kedua orang tua sayalah, akhirnya kecintaan saya terhadap beliau muncul sejak kecil.
Gus Dur adalah role model perdamaian dan persatuan bagi Bangsa Indonesia, yang memiliki bermacam-macam ras, suku dan agama. Masih sangat melekat ingatan saya ketika duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, abah mengadakan sebuah acara dirumah yang mendatangkan seorang tamu istimewa, adalah seorang muallaf keturunan Tionghoa. Beliau menceritakan perjalanan hidupnya ketika menjadi seorang non-muslim, hingga mengenal Gus Dur dan akhirnya mengucap syahadat bersama istrinya karena sangat mengagumi sosok Gus Dur. Begitulah mantan Ketua Umum Tanfidziyah NU ini, dekat dengan semua kalangan baik dari umat islam maupun selainnya.
Sebagai seorang pemuda, penerus bangsa yang dipundaknya terdapat amanah rakyat untuk membangun Indonesia. Saya memiliki tanggung jawab akan kesejahteraan bangsa, terutama ketika gelar “Mahasiswa” yang saya peroleh adalah hasil dari keringat rakyat Indonesia. Untuk itulah, hingga detik ini saya bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa yaitu “Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU)”. Mungkin karena latar belakang keluarga yang memang sarat akan ke-NU-annya, menjadikan saya memilih organisasi ini.
Hingga akhirnya tekad saya semakin kuat, ketika Gus Muwaffiq dari Jogja menasehati kami selaku pengurus KMNU Nasional pada satu kesempatan. Bahwa dibawah KMNU kami bisa memperjuangkan keutuhan bangsa, ditengah hiruk pikuknya ekstrim kanan maupun kiri yang semakin gencar mengubah Indonesia sesuai keyakinannya. Karena kami berada di tengah, tidak memihak satu sisi tapi merangkul semuanya, menyatukan ditengah banyaknya perbedaan. Beliau mengatakan bahwa KMNU adalah kumpulan pemuda gila, yang masih sibuk memikirkan nasib bangsa ketika pemuda umumnya asik dengan dunia.
Mengutip ucapan Gus Mus pada suatu kesempatan:
“Menurut saya, Gus Dur itu diutus Tuhan, untuk mengajarkan Indonesia agar pandai berbeda dengan yang lain. Karena itu, Gus Dur kontroversial, setiap sikap dan ucapannya menimbulkan kontroversi. Dengan begitu, orang Indonesia akan belajar bagaimana berbeda dengan orag lain. Itu sebetulnya hakikat kehadiran Gus Dur di Indonesia.
Kemudian kita akan menjadi Negara yang betul-betul demokratis, karena saling menghargai pendapat orang lain. Kita Negara yang sangat plural, sangat majemuk. Kita mempunyai slogan Bhinneka Tunggal Ika, dan itu akhir-akhir ini seperti sedang mendapatkan tantangan orang-orang yang tidak bisa berbeda dengan saudara-saudaranya. Gus Dur sangat berperan, sangat berjasa dan banyak. Mungkin nanti, pengikut-pengikutnya yang bertanggung jawab untuk meneruskan perjuangannya.”
Itulah alasan mengapa saya sangat ingin menjadi bagian dari kelas Pemikiran Gus Dur. Kesedihan ketika melihat NKRI yang saat ini mendapat tantangan dari bangsanya sendiri akan keutuhannya, tidak akan berguna jika diri saya tidak ikut bergerak menjaga keutuhannya. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang luar biasa, dulu pernah menyatukan Bangsa Indonesia. Dan saat inilah, apa yang dulu pernah beliau lakukan, pikirkan dan ucapkan dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia. Untuk itu, saya ingin mempelajari seperti apa konsep yang pernah beliau terapkan, hingga kemudian saya dapat menerapkannya, untuk Bangsa Indonesia, melalui organisasi saya. 
Sebagai bentuk pemaknaan atas cita-cita yang diselipkan oleh Abah Ibu lewat nama saya “Nabila Dina Azkiyah (Pemimpin Agama yang Cerdas)”, bahwa cerdas bukan hanya tentang pengetahuan tapi pengaplikasian dan pemanfaatan keilmuan bagi tanah air saya. Serta wujud kecintaan pada cucu pendiri NU K.H. Hasyim Asy’ari, saya akan meneruskan perjuangannya.


ditulis sebagai salah satu persyaratan mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur
GusDurian Semarang 2015