Sensitif. Jika membaca kata ini mungkin kita akan terlempar pada beberapa kasus yang menjadi sangat sensitif akhir-akhir ini. Terlebih jika dikaitkan dengan masalah kemanusiaan, apalagi agama.
Baru saja beberapa hari yang lalu, atau kemarin, kita dihebohkan dengan kasus pembuatan terompet dari sampul Al-Qur'an, tulisan arab pada pakaian yang dikenakan oleh Agnez Mo (yang sebenarnya itu bermakna kesatuan, persatuan), dan berbagai kasus yang dianggap sebagai penistaan agama. Saya tidak akan berkomentar panjang lebar mengenai kasus-kasus ini, tidak, cukup saudara-saudara yang lebih paham saja yang mengomentari, meskipun saya juga pendapat, tapi, ah, untuk apa saya menjelaskan pendapat saya, yang mungkin akan berbuntut pada pro kontra tak berkesudahan.
Saya hanya sedang mencoba memaknai kejadian ini dalam sudut pandang apa yang sedang saya pelajari, psikologi, dengan teori barat sebenarnya. Mengapa isu-isu tersebut menjadi kian marak dan membombardir jagat kehidupan masyarakat Indonesia? Di setiap sudut, baik dunia nyata maupun maya membicarakannya, beradu argumen dengan segala kepahamannya dan berujung pada pertengkaran. Ah, kebencian semakin marak dan seolah menjadi tren di jaman sekarang.
Dalam khazanah ilmu psikologi, setiap kejadian yang muncul dalam kehidupan sebenarnya akan berdampak pada persepsi, yaitu penilaian seseorang terhadap satu kejadian yang ia tangkap melalui penginderaan. Dari persepsi ini kemudian memunculkan suatu Relativitas. Mengapa saya katakan relativitas, karena sebenarnya baik-buruk, benar-salah, putih-hitam menurut manusia hanya suatu kerelativan, bukan suatu kesaklekan yang benar-benar adanya.
Menurut salah satu buku yang saya baca, persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara satu individu dengan individu lain. (Walgito, 2008)
Dari penjelasan tersebut, terbuka sudah mengapa satu masalah bisa menjadi sangat besar, ya karena adanya persepsi. Setiap orang dengan segala perasaan, pemikiran dan pengalaman yang dimilikinya saling berkomentar seolah-olah mereka yang paling benar, ya benar, menurut mereka, menurut yang lain? Belum tentu. Karena sekali lagi, kebenaran dalam sudut pandang manusia itu relatif.
Namun inilah yang kurang disadari oleh kita-kita ini, perasaan paling benar yang memenuhi diri membuat kita saling menyalahkan, menjelek-jelekkan individu lain karena berbeda pendapat. Ujung-ujungnya apa? Ribut, berantem, yang lebih menyakitkan, dari awalnya saudara menjadi musuh. Lhah kan ini udah salah, dosa.
Jadi, intinya, monggo menyikapi segala sesuatunya dengan bijak. Berkomentar ya monggo, wong itu hak setiap orang. Tapi jangan sampailah kita bertengkar dengan orang lain karena berbeda komentar. Duh, kapan dunia bisa damai rek-rek kalau beda persepsi dijadikan alasan berantem. Ya kalo beda pendapat, monggo dirundingkan, duduk bareng ngobrol santai, ditemani secangkir kopi hitam dan kawan-kawan berupa gorengan karo kacang kan disawang ayem.
Kalau kata guru saya, "Kalau kalian mau duduk bareng mendiskusikan perbedaan pendapat, yang kalian temukan hanya berupa lawakan. Lha kok lawakan? Lha iya, wong gak ada yang salah, nggak ada yang bener. Yang salah itu kalo kalian mikir pakek otot bukan pakek otak, yang bener itu ya mung Gusti Allah Ta'ala."
Akhir kata dari saya, semoga kedamaian selalu menyertai kita..
Salam NGOPI (Ngolah Pikir) untuk INDONESIA yang tak kunjung berdamai.. duh
No comments:
Post a Comment