1/07/2016

Motivation Letter




“Saya Mencintainya dan Saya Bertanggung Jawab Meneruskan Perjuangannya”
(Nabila Dina Azkiyah, mahasiswa semester 4 Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro)

Nabila Dina Azkiyah, sebuah nama yang diberikan oleh pasangan suami istri pada bayi perempuan yang lahir 30 April, 20 tahun silam. Berharap sang putri kecil akan menjadi wanita sesuai dengan makna dari namanya “Pemimpin Agama yang cerdas”. Nabila, itulah saya. Seorang putri ke-3 dari 6 bersaudara pasangan guru madrasah di perbatasan Kabupaten Kediri, Jawa Timur.  
Duduk di bangku kuliah semester empat, saya menyandang gelar sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi sejak tahun 2013 yang lalu. Mahasiswa yang alhamdulillah dapat menikmati pendidikan di perguruan tinggi dengan bantuan beasiswa bidikmisi. Tak hanya itu, Allah sangat baik hingga mengizinkan saya menikmati indahnya kehidupan pesantren. Tempat bagi orang-orang yang haus akan ilmu agama islam, tempat yang menjadi miniatur kehidupan kelak kata orang.
Sejak kecil, orang tua saya mengajarkan banyak hal tentang agama islam, ahlussunnah wal jama’ah ala Nahdlatul Ulama khususnya. Tak hanya itu, jiwa aktivis pergerakan yang melekat pada kedua orang tua saya sejak kuliah, menjadikan beliau mendidik keenam anaknya secara moderat dan kritis. Penuh dengan toleransi, tanpa melupakan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Agama Islam Rahmatan lil ‘alamin-Nya. Seperti ketika berteman dengan orang lain, beliau tidak pernah membatasi saya meskipun dengan orang beda pemahaman terutama keyakinan.
KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih sering dipanggil Gus Dur, adalah salah satu tokoh idola orang tua saya. Sejak kecil, beliau sering mengenalkan saya pada Gus Dur lewat cerita-cerita atau berita media massa yang mengupas perjalanan almarhum presiden ke-4 NKRI ini. Seperti yang dikenal oleh rakyat Indonesia, orang tua saya seringkali mengatakan bahwa Gus Dur adalah sosok yang fenomenal. Dimana setiap ucapan dan tindakannya penuh dengan kontroversi. Dari kedua orang tua sayalah, akhirnya kecintaan saya terhadap beliau muncul sejak kecil.
Gus Dur adalah role model perdamaian dan persatuan bagi Bangsa Indonesia, yang memiliki bermacam-macam ras, suku dan agama. Masih sangat melekat ingatan saya ketika duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, abah mengadakan sebuah acara dirumah yang mendatangkan seorang tamu istimewa, adalah seorang muallaf keturunan Tionghoa. Beliau menceritakan perjalanan hidupnya ketika menjadi seorang non-muslim, hingga mengenal Gus Dur dan akhirnya mengucap syahadat bersama istrinya karena sangat mengagumi sosok Gus Dur. Begitulah mantan Ketua Umum Tanfidziyah NU ini, dekat dengan semua kalangan baik dari umat islam maupun selainnya.
Sebagai seorang pemuda, penerus bangsa yang dipundaknya terdapat amanah rakyat untuk membangun Indonesia. Saya memiliki tanggung jawab akan kesejahteraan bangsa, terutama ketika gelar “Mahasiswa” yang saya peroleh adalah hasil dari keringat rakyat Indonesia. Untuk itulah, hingga detik ini saya bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa yaitu “Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU)”. Mungkin karena latar belakang keluarga yang memang sarat akan ke-NU-annya, menjadikan saya memilih organisasi ini.
Hingga akhirnya tekad saya semakin kuat, ketika Gus Muwaffiq dari Jogja menasehati kami selaku pengurus KMNU Nasional pada satu kesempatan. Bahwa dibawah KMNU kami bisa memperjuangkan keutuhan bangsa, ditengah hiruk pikuknya ekstrim kanan maupun kiri yang semakin gencar mengubah Indonesia sesuai keyakinannya. Karena kami berada di tengah, tidak memihak satu sisi tapi merangkul semuanya, menyatukan ditengah banyaknya perbedaan. Beliau mengatakan bahwa KMNU adalah kumpulan pemuda gila, yang masih sibuk memikirkan nasib bangsa ketika pemuda umumnya asik dengan dunia.
Mengutip ucapan Gus Mus pada suatu kesempatan:
“Menurut saya, Gus Dur itu diutus Tuhan, untuk mengajarkan Indonesia agar pandai berbeda dengan yang lain. Karena itu, Gus Dur kontroversial, setiap sikap dan ucapannya menimbulkan kontroversi. Dengan begitu, orang Indonesia akan belajar bagaimana berbeda dengan orag lain. Itu sebetulnya hakikat kehadiran Gus Dur di Indonesia.
Kemudian kita akan menjadi Negara yang betul-betul demokratis, karena saling menghargai pendapat orang lain. Kita Negara yang sangat plural, sangat majemuk. Kita mempunyai slogan Bhinneka Tunggal Ika, dan itu akhir-akhir ini seperti sedang mendapatkan tantangan orang-orang yang tidak bisa berbeda dengan saudara-saudaranya. Gus Dur sangat berperan, sangat berjasa dan banyak. Mungkin nanti, pengikut-pengikutnya yang bertanggung jawab untuk meneruskan perjuangannya.”
Itulah alasan mengapa saya sangat ingin menjadi bagian dari kelas Pemikiran Gus Dur. Kesedihan ketika melihat NKRI yang saat ini mendapat tantangan dari bangsanya sendiri akan keutuhannya, tidak akan berguna jika diri saya tidak ikut bergerak menjaga keutuhannya. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang luar biasa, dulu pernah menyatukan Bangsa Indonesia. Dan saat inilah, apa yang dulu pernah beliau lakukan, pikirkan dan ucapkan dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia. Untuk itu, saya ingin mempelajari seperti apa konsep yang pernah beliau terapkan, hingga kemudian saya dapat menerapkannya, untuk Bangsa Indonesia, melalui organisasi saya. 
Sebagai bentuk pemaknaan atas cita-cita yang diselipkan oleh Abah Ibu lewat nama saya “Nabila Dina Azkiyah (Pemimpin Agama yang Cerdas)”, bahwa cerdas bukan hanya tentang pengetahuan tapi pengaplikasian dan pemanfaatan keilmuan bagi tanah air saya. Serta wujud kecintaan pada cucu pendiri NU K.H. Hasyim Asy’ari, saya akan meneruskan perjuangannya.


ditulis sebagai salah satu persyaratan mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur
GusDurian Semarang 2015

No comments:

Post a Comment