8/15/2015

Hei anak kecil, hidup adalah tentang perjuangan

Salah satu screenshots yang tersisa dari benda kecil yang dielu-elukan sebagai ponsel pintar itu. Banyak sekali sebenarnya screenshots berisi pelajaran penting yang kunilai itu sebagai dua tindakan yang berseberangan, bodoh dan cerdas tepat.

Aku bodoh, tentu saja, dengan menyimpannya mungkin akan menjadi sulit untuk melupakan orang itu. atau mungkin ada yang menganggap gadis itu masih mempertahankan perasaannya, berharap semuanya menjadi nyata. Oh tidak tidak, aku tidak akan banyak berharap, pun menanti semua harapku menjadi nyata. Meskipun tentu saja, mendoakan adalah hal yang kurasa lebih baik untuk kulakukan, semoga yang terbaik selalu bersama 'kita'.

Cerdas tepat, karena dengan menyimpan puluhan screenshots itu setidaknya aku akan tetap diingatkan tentang perjuangan, menampar diri sendiri saat merasa jatuh karena satu kegagalan. Jika beberapa waktu yang lalu masih ada yang dengan getolnya memarahiku saat menangis, memperburuk suasana hati dengan ucapan menyebalkannya, meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja (ya, hanya akan buruk diawal, tapi ketika kita bisa menyikapinya dengan bijak, semua akan kembali normal), puluhan kali mengatakan bahwa hidup adalah perjuangan, serta memelukku mendoakanku setiap selesai sholatnya. Tapi untuk saat ini, aku tak akan banyak berharap dengan pesan-pesan singkat yang memenuhi handphoneku, meskipun sekedar menyapa tentu saja.

hahah, apapun itu, aku bersyukur dipertemukan dengan orang itu, anda, ya tentu saja anda, aku bocah cilikmu kang... Sudahlah, tak penting membahas tentang kita itu semua.

Screenshots ini atau lebih tepatnya catatan kecil ini kubuat beberapa minggu yang lalu, awal bulan Agustus yang manis di sebuah pondok pesantren di Jombang. Tepatnya sebelum melonjorkan badan setelah seharian lelah dengan aktivitas yang menyenangkan tentu saja, mencari orang yang bersedia menampung mempersilahkan kami (saya tidak sendiri kala itu) untuk tidur di rumahnya. Dan akhirnya, seseorang membawa kami ketempat itu.

Catatan itu dibuat atas renungan berjam-jam (fisik lelah ternyata tak terlalu sinkron dengan mata dan otak saya yang enggak menutup hari dengan tidur sejenak) tentang beberapa masalah kejadian yang saya alami beberapa bulan ini..
Terakhir.....
"Mental tidak terbentuk dari ribuan materi yang dia dapat di bangku kuliah, duduk manis mendengarkan ceramah yang sesekali disambut dengan rasa kantuk. Tapi mental terbentu saat ia dihadapkan pada satu masalah, masalah dan masalah, ketika dia mampu bertahan, berdiri tegak meskipun ribuan orang melecehkan, tetap tersenyum meski hati tersayat, dan tetap memiliki ribuan tekad dan keyakinan meskipun banyak orang yang berusaha menjatuhkan"-Nabilah

ditulis dari pojok gubuk kecil kehidupan,
kediri, 15 Agustus 2015

8/14/2015

Kuanggap ini bukan apa-apa


Detik mempertemukan kita..
Merajut sapa dalam menit, aku mengenalmu bahkan detail terkecil darimu…
Dan waktu pun menjadi saksi, atas rangkaian rasa yang mengalir dalam raga…
Merangkul kasih dalam tiap untaian doa…
Berharap aku dan kamu akan menjadi kita…
Bintang tak akan meninggalkan langit…
Laut tak akan jauh dari pantai…
Pelangi tak akan berhenti tersenyum untuk hujan…
Pun siang tak akan bosan mendampingi malam…
Tapi nyatanya,
Kau bukan bintang yang tetap berada dilangitku…
Engkau bukan laut yang tak akan pergi jauh dari hamparan luas pandanganku…
Pun kau bukan pelangi yang terus tersenyum untukku…
Juga nyatanya kau bukan siang yang akan selamanya disisiku…
Engkau pergi,
Terbang bebas menghampiri langitmu…
Mencari titik dari pantaimu, menunggu hujanmu dan menghiasi malammu…
Sedangkan aku?
Aku akan tetap tersenyum disini…
Memandangmu dari jauh, tetap berdiri tegak disini…
Hingga nanti seseorang merangkulku untuk pergi…
Cahayaku, aku menyayangimu…

8/12/2015

Bangunlah, Maka Akan Terwujud.

Sebenarnya hanya rangkaian kata sepele, yang ditulis oleh Leonard H. Hoyle dalam bukunya yang berjudul Event Marketing. Tapi jika kita mau memahami maknanya, mungkin bisa jadi kalimat itu akan menjadi tamparan keras bagi kita. Eitss... Kita? Yaaa, kita, orang-orang yang senang bermimpi. Mengkhayal kehidupan bahagia dengan kemewahan atau apapun itu yang sering membayangi angan-angan kita.
Oke, karena sesungguhnya tulisan ini hanya hasil musahabah diri saya setelah membaca salah satu buku dari sekian tumpuk buku milik saudara saya kemarin malam. Salah satu tulisan Hoyle yang kemudian menyadarkan saya, bahwa sebenarnya diri ini telah lama tertidur. Atau bahkan sudah bangun tapi berlari dari diri saya sesungguhnya.
Seperti kebanyakan orang atau bahkan semua manusia, saya mempunyai mimpi, tentu saja. Menjadi seorang penulis sekaliber Habiburrahman El-Syirazi, menjadi seorang hafidzah seperti yang diminta ibu saya sekaligus menjadi penerus mbah putri, atau guru besar di universitas di Indonesia, tiga impian saya dari ribuan impian yang sebenarnya ingin saya capai. Lalu apa hubungannya dengan tulisan Hoyle diatas? Ya, Hoyle telah menampar keras pipi saya dengan kalimatnya. Dia menyadarkan saya bahwa mungkin waktu saya hanya akan habis dengan tertidur dalam impian-impian saya.
Bangunlah nabila, dari tidur panjang yang melenakanmu dari apa yang telah kamu rangkai sejak kecil diselembar kertas itu. Jangan hanya bermimpi dan berangan-angan. Karena sesungguhnya mimpi-mimpi itu hanya akan terwujud jika kamu mau bangun dan mulai berjalan sedikit demi sedikit untuk mencapainya. Ingatkah apa yang ditulis Epictetus dalam bukunya? Bahwa "Tidak ada sesuatu yang hebat yang tercipta secara tiba-tiba". Cita-citamu hebat? Ya tentu saja. Tidak ada satupun cita-cita seorang insan yang tidak hebat. Hanya, itu tidak akan menjadi hebat jika kamu terus bermimpi tanpa mau menjadikan mimpi itu nyata.
Maka, Jangan pernah berani bermimpi jika kamu tidak mau bangun dari mimpimu. Karena apa? Karena ketika kamu hanya berani bermimpi, tanpa mau menjadikan itu nyata, kamu hanya akan menjadi pecundang ketika semua orang di sekitarmu sukses dengan karyanya. Kamu hanya akan sibuk menilai orang lain, tapi kamu lupa bahwa kamu punya kehidupan. Ingat kata-kata Kang Shobah, "Nabila terlahir untuk menjadi seorang PEJUANG, bukan seorang PEMIMPI."
"Maka bermimpilah, jika kamu memang berani untuk memperjuangkan mimpimu menjadi nyata"-Nabila,


Kediri, 12 Agustus 2015

Menoreh rasa dalam doa...



Dan hingga saat ini
Bersua denganmu hanyalah menjadi mimpi
Tapi, meski raga tak mampu bersama
Suara lembutmu tak dapat kudengar
Cahaya matamu yang meneduhkan tak lagi ada
Maka bolehkah aku terus mengenangmu?
Lewat senyum yang dulu kau lukiskan tatkala mata beradu
Langkah pelan tapi pasti dari dua kaki tegapmu
Dan lewat tutur lembutmu ketika bersenandung dalam sholawat
Aku merindukanmu, sungguh
Mungkin ucap ini tak akan kau dengar
Tapi lewat doaku, aku merindukanmu
Bukan kunamakan ini sebagai cinta, Gus
Hanya, bolehkah aku menikmati titipan Allah lewat rasa ini?


Semarang, 2 Desember 2014

Dan Pada Akhirnya Aku Tau, Jilbabku Adalah Nyawaku


Suara adzan subuh begitu nyaring terdengar dari masjid, membangunkan tiap insan muslim yang terlelap dalam mimpinya. Pun isak tangis pelan muncul dari bilik kecil disebuah rumah.  Salis, tak seperti biasanya dia seperti itu. Mata coklatnya membengkak akhir-akhir ini. Ya, dua hari yang lalu bundanya meninggal, dan sejak saat itu dia lebih sering terjaga tengah malam hingga fajar. Untuk menangis? Tidak, tidak hanya itu alasannya. Ada satu kekecewaan dalam hatinya yang terus membuatnya merasa berdosa. Satu permintaan bundanya, permintaan yang kecil tapi tak pernah ia laksanakan. Berjilbab, Ibunda Salis selalu memintanya berjilbab. Tapi, hingga Allah meminta kembali sang bunda, Salis tak pernah mau mengabulkan permintaan itu. Sering memang dia mengenakan jilbab, tapi bundanya meminta agar Salis selalu mengenakan jilbab jika keluar rumah. Mungkin simpel bagi kalian, tapi tidak bagi Salis. Gadis yang selalu menomor satukan penampilan ini tidak mau merusak rambut indahnya dengan penutup kepala yang bernama jilbab itu.
“Gerah ma, lagian buat apa Salis capek-capek ke salon kalo akhirnya rambut Salis ditutup jilbab?” alasan yang sering dia lontarkan ketika Bunda Nafis menegurnya agar memakai jilbab ketika keluar rumah. Dan kini, itu yang membuatnya kecewa.
...................................................................
Hari itu merupakan hari pertama Salis masuk kuliah semester 3, kampusnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Karena setelah Salis dinyatakan lolos disalah satu perguruan tinggi di Jawa Timur tahun lalu, orang tuanya memutuskan untuk pindah rumah. Dia adalah putri tunggal di keluarganya, sehingga ayah dan ibunya enggan untuk membiarkan Salis tinggal diluar kota sendiri.
“Lis, boleh gak ayah minta satu hal?” tanya ayahnya ketika Salis keluar kamar.
“Boleh kok yah, tumben banget ayah tanya gitu”
“Anak ayah cantik ya, tapi menurut ayah bakal tambah cantik kalau Salis pakek jilbab.”
Satu permintaan yang sama akhirnya keluar dari bibis ayahnya, dengan senyum tipis akhirnya dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Dia masih ingat betul, dulu bundanya sering membelikan jilbab tapi hingga saat ini jilbab-jilbab itu hanya tersusun rapi didalam lemari kamarnya.
“Mama, ayah, meskipun Salis belum bisa menerima sepenuh hati tapi hari ini Salis akan memenuhi permintaan kalian. Salis gak mau mengulangi kesalahan untuk kedua kali. Salis sayang mama sama ayah.”
Beberapa menit kemudian, Salis telah siap dengan jilbab yang sepadan dengan kemeja birunya. Meskipun masih dengan celana ketat yang melekat pas di kakinya, proses. Dia yakin bahwa semua butuh proses, proses dari yang paling kecil hingga paling besar.
Kuliah pertama dijalaninya dengan lancar, meskipun banyak orang yang menggoda tentang jilbabnya. Ya, semua orang tau, Salis adalah mahasiswa super modis, tapi hari itu dia datang dengan jilbabnya. Jilbab yang dulu dia anggap sebagai barang yang memuakkan.
“Dih Lis, sejak kapan lu pakai kayak ginian?” tanya Mita, salah satu sahabatnya.
“Hahaha, biasa aja kali Mit. Sejak hari ini lah, tapi kayaknya bakal selamanya deh, seru sih pakai jilbab.” Canda Salis.
“Tapi gue gerah lihat lu pakai ginian Lis, lagian lu itu lebih cantik gak pakai jilbab” sahut Ester.
“Kalian ya, temennya mau jadi baik gak ada yang dukung. Gue pulang dulu deh, kasian ayah dirumah sendirian. Duluan ya!.”
Perubahan memang memiliki dua dampak yang bertolak belakang, dan Salis sangat mengerti akan hal itu. Dan saat ini, dia merasakan hal itu, ketika dirinya tergerak untuk berubah menjadi lebih baik, akan ada pro dan kontra. Tapi, yang tak pernah dia pahami, justru mereka yang dia anggap sahabatlah yang menolak mentah-mentah perubahan itu.
Ejekan dari sahabat-sahabatnya dia terima setiap hari, bahkan yang membuatnya sangat kecewa adalah ketika Alvin, kekasihnya memutuskan Salis. Apa alasannya? Jilbab. Sebuah alasan yang sangat sepele, Alvin tak mau Salis memakain jilbab. Alasan yang menurut Salis kekanak-kanakan, tetapi dengan berat harus dia terima.
.....................................................................................
Beberapa bulan setelah perubahan awalnya, Salis sudah terbiasa dengan sindiran teman-temannya. Dia tak pernah tau mengapa dia bisa begitu kuat saat itu, tapi yang dia tau sang ayah mendukungnya. Bagi dia, tak perlu orang lain untuk membuat dia kuat berdiri, ketika ayah masih memegang erat tangannya.
Sejak persahabatannya kandas, Salis lebih memilih berkunjung ke Masjid Kampus dan perpustakaan. Dan sungguh, Allah tau apa yang lebih dibutuhkan hamba-Nya. Satu hari ketika Salis duduk di teras Masjid Kampus, seorang gadis kecil berjilbab menghampirinya dan memberikan selebaran. Dalam lembar kecil itu, tertuliskan bahwa salah satu Sie Kerohanian Islam di kampusnya mengadakan sebuah seminar kemuslimahan. Dan entah dorongan dari mana, sesaat setelah membaca selebaran itu, dia langsung mendaftarkan diri sebagai peserta. Seminar kemuslimahan, mungkin jika yang membaca selebaran itu adalah Salis tanpa jilbab, selebaran itu hanya akan menghiasi tong sampah sebelum dia selesai membaca.
Dari selebaran itu, dari seminar kemuslimahan itu, Salis meneteskan air mata, hatinya seperti terhujam batu ketika pembicara menjelaskan betapa adzab Allah sangat mengerikan untuk perempuan yang tak mau menutup rambutnya dengan jilbab. Betapa Allah memurkai perempuan yang tau mau menggunakan jilbab pada kepalanya.
Malamnya, Salis masih sangat terbayang dengan apa yang telah dipaparkan oleh pembicara seminar yang diikutinya. Kembali air mata menetes dari kedua matanya, kakinya tergerak menuju meja rias. Matanya menatap wajah yang dipantulkan cermin, membayangkan bagaimana jika dia yang mendapatkan adzab itu. Sungguh jika boleh berteriak, dia ingin menangis sekencang-kencangnya saat itu. Menangisi dosa-dosa yang dia lakukan selama perjalanan hidupnya. Menangisi betapa dia sangat berdosa karena menolak keinginan bundanya, padahal itu demi kebaikan dia.
Salis merasa kosong, jiwanya sangat sepi, dia bahkan tak tau harus berbuat apa untuk menghapus dosa-dosanya. Hingga ia teringat nasihat bundanya, bahwa ketika keresahan menelisik dalam hati, sepatutnya manusia lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta. Meskipun dengan lemah, dia berusaha bangkit, diambilnya air wudhu, sholat tentu akan mampu membuat hatinya tenang, meski dia sadar, dirinya sangat hina. Hingga tak terasa dia terlelap dalam kedamaian sujudnya.
Salis bertemu bunda, beliau memberikan jilbab warna pink padanya. Menurut bundanya, Salis akan bertemu bunda disurga jika dia mau memakai jilbab itu. Mimpi, ya Salis bermimpi. Sejenak dia teringat tentang jilbab itu, bundanya pernah memberikan jilbab itu pada Salis untuk kado ulang tahunnya ke-17.
.........................................................................
Wanita setengah baya itu terlihat cantik dengan gamis warna coklat dan jilbab lebar warna yang sepadan. Senyum dibibirnya, dan tatapan sendu matanya membuat siapa saja akan tau betapa dia seorang wanita yang lembut dan penyayang. Wanita itu adalah Bunda Nafis, foto itu masih terpajang didalam kamar Salis. Mata Salis menelusuri tiap inci dari foto itu, mengagumi sosok bundanya yang sekarang telah bahagia.
“Ma, pantas ayah sangat mencintai mama. Mama cantik, anggun, lembut, penyayang, apalagi berjilbab. Salis malu, masak mamanya berjilbab tapi Salis kayak gini. Mama, makasih sudah ajarkan Salis tentang kehidupan. Mama benar, memang sudah waktunya Salis memakai jilbab, meskipun sebenarnya sudah terlambat. Tapi mama pernah bilang kan, lebih baik kita terlambat berbuat kebaikan daripada kita tidak berbuat kebaikan sama sekali. Salis sekarang mantap berjilbab ma, meskipun kemarin masih asal-asalan, mulai sekarang Salis akan belajar bagaimana berjilbab dengan benar. Salis sayang mama.”
Senyumnya terukir manis dari bibir tipisnya, lesung pipit turut menghiasi wajahnya. Gadis itu masih duduk dengan tenang disalah satu meja disebuah rumah makan, menunggu menu pesanannya datang. Cantik, dengan rok biru tua dan kemeja warna pink serta jilbab lebar warna serupa memperlengkap kecantikan gadis itu.
Dia adalah Salis, Rahmanita Salisa, gadis yang dulu tak berjilbab bahkan membenci jilbab, saat ini terlihat anggun dengan jilbab yang menutupi kepalanya. Dialah gadis itu yang menolak permintaan ibundanya untuk berjilbab, gadis yang merelakan persahabatan dan kekasihnya demi jilbab, dia yang mengalami guncangan hebat karena seminar tentang jilbab dan gadis itulah yang saat ini bahagia dengan jilbab. Itulah Salis yang mengalami perubahan besar dalam hidupnya.

“Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih adalah wanita yang tidak mau menutupi rambutnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram.” (Al-hadits)


 (cerpen ini pernah diikutsertakan dan memenangkan lomba True Story VI-Day GAMAIS FKM Undip pada oktober 2014, diposting ulang dengan sedikit perubahan)

KMNU untuk Sesama "Ulurkan Tangan pada Mereka yang Mencari Kebahagiaan"


Anak merupakan salah satu anugerah dari Tuhan yang harus dijaga. Terlebih, seorang anak adalah harapan bangsa yang kelak akan memimpin bangsa dan negaranya. Oleh sebab itu potensi anak harus dikembangkan secara maksimal, serta menjauhkan mereka dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, agar anak bisa hidup, tumbuh, berkembang, dan ikut berpartisipasi sesuai dengan kemampuan demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Perlindungan terhadap anak harus dilakukan karena  seringkali anak menjadi objek kekerasan dan tindak diskriminasi oleh orang dewasa.Selain itu, perlindungan terhadap anak merupakan salah satu hak anak yang wajib dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, dan pemerintah baik pusat maupun daerah , sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Akan tetapi dalam kenyataannya, di Indonesia tidak semua anak memiliki keberuntungan dan mendapatkan perlindungan yang menjadi hak mereka. Tercatat oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2009 terdapat sejumlah 230 ribu anak jalanan di Indonesia. Jumlah yang mencapai angka ratusan ribu tersebut tersebar di berbagai daerah di Indonesia, khususnya kota-kota besar. Hal ini membuktikan bahwa kurang maksimalnya perlindungan terhadap anak-anak di Indonesia, sebab jalanan merupakan tempat yang dapat membahayakan keselamatan mereka.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perlindungan terhadap anak merupakan tugas semua elemen baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah baik pusat maupun daerah. Padahal telah diketahui bersama, bahwa keberadaan anak di jalanan seringkali disebabkan oleh tidak adanya peran orang tua dan keluarga sebagai pelindung utama anak-anak. Oleh sebab itu, diperlukan peran dari elemen lain seperti masyarakat, negara dan pemerintah baik pusat maupun daerah.
Pemerintah sendiri hingga saat ini terus berupaya untuk mengentaskan anak-anak dari jalanan, terbukti dari beberapa daerah yang semakin giat membuat program berkaitan dengan anak jalanan. Semarang misalnya, pemerintah daerah setempat pada tahun 2014 telah mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Semarang. Selain itu pada 27 Oktober 2013 lalu, walikota Surakarta mendeklarasikan kelurahan layak anak demi terwujudnya program Kota Surakarta Bebas Anak Jalanan. Selain dua kota tersebut, masih banyak lagi program-program pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menangani masalah anak jalanan.
 Lantas, dengan disahkannya peraturan dan program pemerintah tidak menjadikan masyarakat boleh menutup mata untuk berperan aktif dalam melindungi anak jalanan. Tetapi, masyarakat juga harus ikut bekerja sama dengan pemerintah untuk bersama-sama mengentaskan anak-anak dari bahaya yang dapat mengancam keselamatan mereka baik dari segi fisik maupun mental.

Kemudian, apa sebenarnya kaitan antara masalah anak jalanan dengan mahasiswa NU? Ya, mahasiswa NU juga harus ikut berperan dalam melindungi dan ikut mengentaskan masalah anak jalanan. Karena melindungi mereka merupakan salah satu pengaplikasian sikap kemasyarakatan NU, yaitu sikap Tawazun dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sikap tawazun yang dapat diartikan sebagai sikap seimbang dalam berkhidmah, baik kepada Allah SWT, sesama manusia serta lingkungannya. Sedangkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan sikap peka yang mendorong warga NU untuk berperilaku baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Selain itu, NU merupakan salah satu organisasi yang mengakar kuat dikehidupan masyarakat khususnya dalam lapisan sosial menengah bawah. Hal ini yang kemudian menjadikan mahasiswa NU wajib menjadi salah satu bagian yang memiliki manfaat bagi masyarakat bawah khususnya anak-anak jalanan. Serta tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak mahasiswa NU berasal dari keluarga dengan perekonomian menengah bawah mendapatkan beasiswa sehingga dapat merasakan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi.
Beberapa aksi mahasiswa sebagai bentuk kepedulian kaum muda terhadap anak jalanan memang telah banyak dilakukan, seperti melalui komunitas Rumah Pintar BangJo di Semarang, Komunitas Save Street Child (SSC) yang tersebar diberbagai perguruan tinggi di Indonesia dan  Komunitas Satoe Atap. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh mahasiswa NU yang pada awal Tahun 2015 telah tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU)? KMNU yang memiliki anggota dari berbagai disiplin ilmu, sebenarnya memiliki potensi yang cukup baik untuk membantu anak jalanan.
Misalnya dengan melakukan program belajar bersama anak jalanan, baik pengetahuan umum maupun agama. Selain itu melakukan penanganan secara psikologis, karena seringkali kasus yang muncul mengenai anak jalanan adalah kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini yang kemudian dapat menimbulkan efek trauma berkepanjangan dalam diri anak-anak.

‘Jika ahli ilmu dan hujjah tidak lagi memberi manfaat
Maka keberadaan mereka di tengah masyarakat
sama saja dengan orang bodoh.
Begitupun jika seseorang tidak memberikan manfaat kepada orang lain
Maka keberadaannya bagaikan duri di antara bunga.’
(dikutip dari buku “Khittah dan Khidmah Nahdlatul Ulama”)

Sekarang adalah saatnya mahasiswa NU ikut berperan aktif dalam membantu mengentaskan masalah anak jalanan, dengan mengulurkan tangan kepada saudara kita yang berada di jalanan. Karena sebenarnya keberadaan mereka di jalan tak lebih dari mencari kebahagian, yang saat ini telah kita rasakan.
 
(Pernah di publish di web resmi kmnu.or.id)