PENDAHULUAN
Autis merupakan gangguan perkembangan otak pada anak diusia tiga
tahun pertamanya. Gangguan ini mengakibatkan anak autis kurang mampu
berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya dan kurang mampu mengontrol
perilakunya.
Oscar Yura Dompas, penyandang gangguan autis yang saat ini berusia
33 tahun ternyata mampu meraih gelar sarjana sastra inggris dari fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Ridzki
putra dari presenter televisi Muhammad Farhan yang juga mengalami gangguan
autis, saat ini ahli dalam klasifikasi hewan dan tumbuhan. Kemudian,
Adiwirahutama Satya mampu menguasi music gamelan bahkan mampu mencari nada
sendiri pada permainan gamelannya.
Ketiga orang ini membuktikan bahwa anak autis bukan merupakan anak
bodoh seperti anggapan orang awam selama ini. Seperti yang dijelaskan oleh dr
Dwidjo Saputro, Sp.KJ bahwa anak autis bukanlah anak yang bodoh, tetapi
memiliki gangguan pada perkembangan otak (health.detik.com).
Disebutkan juga bahwa tidak semua anak autis mampu mengembangkan
bakatnya seperti ketiga contoh diatas. Menurut dr Dwidjo, dukungan orang tua
dan keluarga sangat penting dalam proses adaptasi anak autis.
Seperti kasus Ridzki yang sekarang ahli dalam klasifikasi hewan dan
tumbuhan, hal ini merupakan hasil dari peran orang tuanya yang sering mengajak
dia mengunjungi tempat-tempat umum. Bagi orang tuanya, anak dengan gangguan
autis hendaknya tidak dijauhkan dari lingkungan agar mampu beradaptasi dengan
baik.
Untuk itulah penulis mencoba mengkaji ulang tentang pola asuh yang
seharusnya diterapkan orang tua kepada anak dengan gangguan autis. Sehingga
anak autis bisa mengembangkan apa yang ada dalam dirinya, dan tidak kesulitan
untuk bersosialisasi dengan lingkungan.
KAJIAN PUSTAKA
A.
Teori Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang
tua merupakan bentuk perilaku yang diterapkan oleh orang tua kepada anak dan
bersifat konsisten dalam satu waktu kewaktu. Pola asuh ini dirasakan secara
langsung oleh anak dalam bentuk negative maupun positif. Pola asuh dapat juga
diartika sebagai cara orang tua mendidik dan membesarkan anak (Wong,2008).
Pola asuh sebagai proses interaksi total antara orang tua dengan
anak, seperti proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi dan
proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar(Hetherington&Whiting,
1999). Sedangkan menurut Baumrind, pola asuh merupakan segala proses interaksi
yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu
dalam keluarga yang akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan kepribadian
anak (Irmawati,2002)
Jadi dapat disimpulkan bahwa pola asuh merupakan segala bentuk
interaksi total antara orang tua dengan anak yang memiliki pola tertentu,
bersifat konsisten dari waktu kewaktu dan dapat mempengaruhi perkembangan
psikologi anak. Sehingga pola asuh merupakan satu hal yang sangat penting bagi
proses perkembangan anak.
Menurut Braumrind (Sigelmen,2002) terdapat dua dimensi pola asuh,
yaitu; (1) Acceptan/Responsivness serta (2) Demandingness/Control.
Dimensi Acceptan/Responsiveness berkaitan dengan respon orang tua terhadap
anak, mengacu pada beberapa aspek:
a)
Sensitif
terhadap emosi anak
b)
Memperhatikan
kesejahteraan anak
c)
Dukungan
dan sensivitas terhadap kebutuhan anak
d)
Bersedia
meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama
e)
Bersedia
untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak mereka berprestasi atau
memenuhi harapan.
Orang tua yang memberikan respon dan mau menerima kondisi anak,
akan selalu memberikan kasih sayang, pujian atas kesuksesan, mendorong
anak-anak dan memberitahu ketika anak nakal dan berbuat kesalahan. Berbanding
terbalik dengan sikap orang tua yang tidak responsive dan kurang menerima
kondisi anak, mereka suka mengkritik, menghukum, merendahkan, bahkan
mengabaikan anak. Orang tua ini jarang menunjukkan sikap bahwa dia menyayangi
dan menghargai anak.
Sedangkan dimensi demandingness/control menggambarkan control
perilaku dari orang tua, standart yang ditetapkan orang tua bagi anak. Aspek
penting dari dimensi ini adalah:
a)
Pembatasan; merupakan
usaha orang tua untuk menentukan hal-hal yang harus dikerjakan anak dan
memberikan batasan terhadap hal-hal yang diinginkan anak
b)
Tuntutan; berupaya agar
anak memenuhi segala sesuatu sesuai dengan standar yang ditentukan orang tua
c)
Sikap ketat; sikap ketat
dan tegas orang tua agar anak tidak membantah peraturan orang tua
d)
Campur tangan; orang tua
ikut campur dalam kehidupan anak, mereka seringkali membuat keputusan bagi anak
tanpa mendiskusikannya dengan anak
e)
Kekuasaan sewenang-wenang;
segala sesuatu mutlak pada orang tua, sehingga anak tidak memiliki hak untuk
memutuskan sesuatu
Menurut Diana Baumrind (Sigelmen, 2002) dalam penelitiannya
terdapat tiga jenis pola asuh yang sering diterapkan orang tua, yaitu:
1.
Authoritarian parenting: pola
asuh ini merupakan kombinasi antara demandingness/control yang tingga dengan
acceptan/responsive yang rendah. Orang tua dengan pola asuh ini memberikan
banyak sekali aturan yang harus dipatuhi oleh anak dan jarang sekali memberikan
alasan mengapa anak harus mematuhinya. Hukuman fisik sering diberikan sebagai
upaya agar anak taat aturan.
2.
Authoritative parenting:
pola asuh ini memberikan keseimbangan antara dua dimensi. Orang tua memberikan
aturan dan bataan yang jelas serta memberikan alasan rasional kepada anak.
Mereka melibatkan anak dalam pengambilan keputusan, serta lebih responsive
kepada anak.
3.
Permissive parenting:
rendahnya demandingness/control dan tingginya acceptance/responsive menyebabkan
orang tua membebaskan dan mendorong anak untuk mengekspresikan perasaan tanpa
adanya batasan dan control perilaku.
Selanjutnya Maccoby & Martin menambahkan satu pola asuh yaitu Neglectful
parenting. Pola asuh ini mengkombinasikan dua dimensi yang sama-sama
rendah. Orang tua cenderung tidak perduli dan relative tidak terlibat dalam
kehidupan anak.
Sedangkan menurut Wong (2002) terdapat tiga variasi pola asuh yaitu
permisif, dictator dan demokratis. Pola asuh permisif membentuk
kepribadian anak yang tidak sensitive, tidak patuh, tidak disiplin, agresif dan
sering menentang orang tua. Pola asuh dictator sendiri akan membentuk anak yang
pemalu, sensitive dan kurang percaya diri. Sedangkan pola asuh demokratis
menjadikan anak memiliki harga diri yang tinggi dan rasa ingin tahu yang besar
serta pandai berinteraksi.
Menurut Darling(2009) terdapat tiga factor utama yang mempengaruhi
pola asuh, yaitu:
1.
Jenis kelamin anak;
orang tua cenderung bersikap ketat terhadap anak perempuan dibandingkan dengan
anak laki-laki. Akan tetapi, tanggung jawab yang besar lebih dibebankan kepada
anak laki-laki daripada anak perempuan.
2.
Kebudayaan; hal ini
berkaitan dengan perbedaan peran serta tuntutan pada laki-laki dan perempuan
dalam suatu kebudayaan
3.
Kelas sosial ekonomi;
orang tua dengan kelas sosial ekonomi menengah keatas cenderung menerapkan pola
asuh permisif.
pola asuh dapat dikatakan efektif ketika mampu menghasilkan anak
yang paham aturan-aturan di masyarakat. Hal-hal yang dapat dilakukan orang tua
agar pola asuh menjadi efektif adalah:
a.
Pola
asuh haruslah dinamis; pola asuh yang diterapkan kepada anak harus sejalan
dengan tumbuh kembang anak, sehingga terdapat perbedaan pola asuh pada balita
dengan remaja
b.
Sesuai
kebutuhan dan kemampuan anak; hal ini karena setiap anak memiliki kebutuhan dan
potensi yang berbeda-beda
c.
Ayah
ibu harus kompak; ayah dan ibu sebaiknya bekerja sama dalam menetapkan aturan,
batasan dan nilai-nilai yang diberikan kepada anak, sehingga anak tidak
mengalami kebingungan.
d.
Disertai
perilaku postif orang tua; orang tua diharapkan tidak hanya memberikan aturan,
tetapi juga memberikan contoh yang baik pada anak
e.
Komunikasi
efektif; mengajak anak berdiskusi serta menjadi pendengar yang baik bagi anak.
Hal ini akan membuat anak terlatih untuk menyampaikan perasaan dan pemikirannya
f.
Disiplin;
menerapkan sikap disiplin dari hal kecil sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
anak, sehingga anak terbiasan bersikap disiplin dalam bermasyarakat
g.
Orang
tua konsisten; apa yang dikatakan orang tua harus sesuai denan apa yang
dikerjakan. Sehingga anak akan belajar untuk konsisten dalam berperilaku.
B.
Teori Autis
Autis merupakan gangguan perkembangan yang kompleks, berhubungan
dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gangguan autistic
merupakan gangguan spectrum autism yang parah yang terjadi pada tiga tahun
pertama kehidupan dan mencakup defisiensi dalam relasi sosial, abnormalitas
dalam komunikasi, serta perilaku dengan pola terbatas, berulang dan stereotip
(Santrock, 2011, hal. 326)
Dalam suatu analisis yang dilakukan oleh Durig (Trevarthen,1998)
tentang logika pemikiran anak autis dan interaksi dengan yang lain didapatkan
bahwa anak autis memiliki kekurangan pada ‘creative induction’ atau membuat
penalaran induksi yaitu penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus
menuju kesimpulan umum.
Anak autis kesulitan ketika mereka berhubungan sosial, ekspresi
sosial mereka terbatas pada ekspresi emosional yang ekstrim seperti menjerit,
menangis atau tertawa yang sedalam-dalamnya. Anak autis cenderung tidak suka
perubahan, mereka akan marah besar ketika ada perubahan dalam kehidupan mereka.
Ketika mereka sendirian, anak autis akan memperlihatkan perilaku
self-stimulating seperti mengepak-ngepakkan tangan, mengayunkan tangan kedepan
dan belakang, mengoceh bahkan menyakiti diri sendiri.
Anak autis kesulitan dalam memulai percakapan datau pembicaraan.
Mereka cenderung menyuruh orang lain dengan menggeretnya menuju sesuatu yang
dia inginkan. Anak autis jarang sekali menyampaikan tindakan komunikatif bahkan
etika sosial seperti meminta tolong, mengucap maaf dan terimakasih.
Beberapa factor yang menjadi penyebab adanya gangguan autis pada
anak yaitu:
1.
Factor
genetic
dr
Dwidjo Saputro,Sp. KJ selaku Ketua Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja
mengatakan bahwa salah satu factor penyebab adanya gangguan autis adalah
genetika atau penyimpangan kromosom (health.detik.com). Hal ini juga sesuai
dengan hasil penelitian tim dari University of Cambridge yang menunjukkan bahwa
adanya hormone steroid yang banyak pada janin dapat menimbulkan terjadinya
gangguan autis pada anak
(health.detik.com).
2.
Gangguan
pada system syaraf
Banyak
penelitian menemukan bahwa hampir semua anak autis mengalami gangguan pada
seluruh struktur otak terutama pada otak kecil. Hal ini dikarenakan, otak kecil
memiliki fungsi sebagai pengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik. Otak
kecil juga sebagai pusat yang mengatur perhatian dan pengindraan, sehingga
ketika terjadi kelainan pada otak kecil, maka akan mempengaruhi fungsi-fungsi
yang lain.
3.
Ketidak
seimbangan kimiawi
Beberapa peneliti juga menemukan bahwa gangguan autis terjadi
akibat adanya alergi pada makanan, ketidakseimbangan hormonal, serta
peningkatan bahan kimiawi tertentu dalam otak.
Factor penyebab lain yang dapat menimbulkan gangguan autis adalah
infeksi yang terjadi sebelum maupun setelah kelahiran seperti virus rubella
yang dapat merusak otak. Serta keadaan psikologis seperti keadaan orang tua
yang sibuk sehingga tidak memperhatikan anak, jarang mengajak komunikasi anak.
DINAMIKA PSIKOLOGI
Pola pada anak autis sangatlah penting demi proses perkembangan
mereka. Seperti yang kita ketahui, anak dengan gangguan autis memiliki
kelemahan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, sulit untuk mengungkapkan
apa yang mereka inginkan dan pikirkan. Untuk itulah orang tua memiliki peranan
penting untuk mengajari anak untuk bersosialisasi.
Hal pertama yang harus
dilakukan oleh orang tua ketika memiliki anak dengan gangguan autis adalah
accepting/responsiveness. Orang tua harus menerima kondisi anak dengan
menunjukkan kasih sayang, sehingga anak tidak merasa kesepian dan minder
meskipun dengan kondisi yang berbeda dengan yang lainnya.
Kemudian, telah dijelaskan dalam kajian pustaka bahwa ketika anak
autis sendiri, mereka cenderung menunjukkan sikap self-stimulating hingga dapat
mencelakai diri sendiri. Dari sini dibutuhkan peran orang tua untuk tidak
membiarkan anak mereka sendirian. Orang tua juga harus sering mengajak anak
untuk berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal. Dengan adanya
komunikasi ini, anak akan belajar untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan dan
pikirkan.
Menyembunyikan anak dari lingkungan sosial bukanlah hal yang baik,
sebaliknya anak harus dilatih untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Orang
tua sebaiknya tidak selalu menuntut anak untuk selalu berada didalam rumah,
tetapi mengajak anak bermain dengan tetangga atau ketaman.
Dari beberapa jenis pola asuh yang ada, pola asuh yang cukup sesuai
untuk diterapkan pada anak dengan gangguan autis adalah pola asuh demokratis.
Orang tua harus menunjukkan kasih sayang mereka, peka terhadap kebutuhan anak,
dan memberikan kebebasan pada anak untuk berkembang tetapi dengan beberapa
batasan agar anak tidak mencelakai dirinya sendiri.
Orang tua juga harus mengajari anak dalam melakukan pekerjaan
pribadi, karena telah disebutkan diawal bahwa anak autis tidak hanya kesulitan
untuk berkomunikasi tetapi juga memiliki beberapa gangguan pada system syaraf
sehingga mereka seringkali kesulitan melakukan sesuatu misalkan makan, minum,
buang air, dan beberapa kegiatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, M.E.
(2010, April 30). Mengembangkan kelebihan anak autis (contoh kasus).
Retrieved from http://mlymutz.blogspot.com/2010/04/mengembangkan-kelebihan-anak-autis.html
Santrock, J.W.
(2012). Life-span development ed.13 jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Sativa, R.L.
(2014, June 5). Bayi rentan autis kalau terpapar banyak hormone pria?.
Retrieved from health.detik.com
Sinulingga,
E.A. (2013, April 9). Teman, autis bukan gangguan mental. Retrieved from
health.detik.com
Nabila Dina Azkiyah, Universitas Diponegoro
15010113120076
Nabilaaz30@gmail.com