3/17/2016

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK AUTIS


PENDAHULUAN
Autis merupakan gangguan perkembangan otak pada anak diusia tiga tahun pertamanya. Gangguan ini mengakibatkan anak autis kurang mampu berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya dan kurang mampu mengontrol perilakunya.
Oscar Yura Dompas, penyandang gangguan autis yang saat ini berusia 33 tahun ternyata mampu meraih gelar sarjana sastra inggris dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Ridzki putra dari presenter televisi Muhammad Farhan yang juga mengalami gangguan autis, saat ini ahli dalam klasifikasi hewan dan tumbuhan. Kemudian, Adiwirahutama Satya mampu menguasi music gamelan bahkan mampu mencari nada sendiri pada permainan gamelannya.
Ketiga orang ini membuktikan bahwa anak autis bukan merupakan anak bodoh seperti anggapan orang awam selama ini. Seperti yang dijelaskan oleh dr Dwidjo Saputro, Sp.KJ bahwa anak autis bukanlah anak yang bodoh, tetapi memiliki gangguan pada perkembangan otak (health.detik.com).
Disebutkan juga bahwa tidak semua anak autis mampu mengembangkan bakatnya seperti ketiga contoh diatas. Menurut dr Dwidjo, dukungan orang tua dan keluarga sangat penting dalam proses adaptasi anak autis.
Seperti kasus Ridzki yang sekarang ahli dalam klasifikasi hewan dan tumbuhan, hal ini merupakan hasil dari peran orang tuanya yang sering mengajak dia mengunjungi tempat-tempat umum. Bagi orang tuanya, anak dengan gangguan autis hendaknya tidak dijauhkan dari lingkungan agar mampu beradaptasi dengan baik.
Untuk itulah penulis mencoba mengkaji ulang tentang pola asuh yang seharusnya diterapkan orang tua kepada anak dengan gangguan autis. Sehingga anak autis bisa mengembangkan apa yang ada dalam dirinya, dan tidak kesulitan untuk bersosialisasi dengan lingkungan.
KAJIAN PUSTAKA
A.  Teori Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua merupakan bentuk perilaku yang diterapkan oleh orang tua kepada anak dan bersifat konsisten dalam satu waktu kewaktu. Pola asuh ini dirasakan secara langsung oleh anak dalam bentuk negative maupun positif. Pola asuh dapat juga diartika sebagai cara orang tua mendidik dan membesarkan anak (Wong,2008).
Pola asuh sebagai proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar(Hetherington&Whiting, 1999). Sedangkan menurut Baumrind, pola asuh merupakan segala proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Irmawati,2002)
Jadi dapat disimpulkan bahwa pola asuh merupakan segala bentuk interaksi total antara orang tua dengan anak yang memiliki pola tertentu, bersifat konsisten dari waktu kewaktu dan dapat mempengaruhi perkembangan psikologi anak. Sehingga pola asuh merupakan satu hal yang sangat penting bagi proses perkembangan anak.
Menurut Braumrind (Sigelmen,2002) terdapat dua dimensi pola asuh, yaitu; (1) Acceptan/Responsivness serta (2) Demandingness/Control. Dimensi Acceptan/Responsiveness berkaitan dengan respon orang tua terhadap anak, mengacu pada beberapa aspek:
a)    Sensitif terhadap emosi anak
b)   Memperhatikan kesejahteraan anak
c)    Dukungan dan sensivitas terhadap kebutuhan anak
d)   Bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama
e)    Bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan.
Orang tua yang memberikan respon dan mau menerima kondisi anak, akan selalu memberikan kasih sayang, pujian atas kesuksesan, mendorong anak-anak dan memberitahu ketika anak nakal dan berbuat kesalahan. Berbanding terbalik dengan sikap orang tua yang tidak responsive dan kurang menerima kondisi anak, mereka suka mengkritik, menghukum, merendahkan, bahkan mengabaikan anak. Orang tua ini jarang menunjukkan sikap bahwa dia menyayangi dan menghargai anak.
Sedangkan dimensi demandingness/control menggambarkan control perilaku dari orang tua, standart yang ditetapkan orang tua bagi anak. Aspek penting dari dimensi ini adalah:
a)   Pembatasan; merupakan usaha orang tua untuk menentukan hal-hal yang harus dikerjakan anak dan memberikan batasan terhadap hal-hal yang diinginkan anak
b)   Tuntutan; berupaya agar anak memenuhi segala sesuatu sesuai dengan standar yang ditentukan orang tua
c)    Sikap ketat; sikap ketat dan tegas orang tua agar anak tidak membantah peraturan orang tua
d)   Campur tangan; orang tua ikut campur dalam kehidupan anak, mereka seringkali membuat keputusan bagi anak tanpa mendiskusikannya dengan anak
e)    Kekuasaan sewenang-wenang; segala sesuatu mutlak pada orang tua, sehingga anak tidak memiliki hak untuk memutuskan sesuatu
Menurut Diana Baumrind (Sigelmen, 2002) dalam penelitiannya terdapat tiga jenis pola asuh yang sering diterapkan orang tua, yaitu:
1.    Authoritarian parenting: pola asuh ini merupakan kombinasi antara demandingness/control yang tingga dengan acceptan/responsive yang rendah. Orang tua dengan pola asuh ini memberikan banyak sekali aturan yang harus dipatuhi oleh anak dan jarang sekali memberikan alasan mengapa anak harus mematuhinya. Hukuman fisik sering diberikan sebagai upaya agar anak taat aturan.
2.    Authoritative parenting: pola asuh ini memberikan keseimbangan antara dua dimensi. Orang tua memberikan aturan dan bataan yang jelas serta memberikan alasan rasional kepada anak. Mereka melibatkan anak dalam pengambilan keputusan, serta lebih responsive kepada anak.
3.    Permissive parenting: rendahnya demandingness/control dan tingginya acceptance/responsive menyebabkan orang tua membebaskan dan mendorong anak untuk mengekspresikan perasaan tanpa adanya batasan dan control perilaku.
Selanjutnya Maccoby & Martin menambahkan satu pola asuh yaitu Neglectful parenting. Pola asuh ini mengkombinasikan dua dimensi yang sama-sama rendah. Orang tua cenderung tidak perduli dan relative tidak terlibat dalam kehidupan anak.
Sedangkan menurut Wong (2002) terdapat tiga variasi pola asuh yaitu permisif, dictator dan demokratis. Pola asuh permisif membentuk kepribadian anak yang tidak sensitive, tidak patuh, tidak disiplin, agresif dan sering menentang orang tua. Pola asuh dictator sendiri akan membentuk anak yang pemalu, sensitive dan kurang percaya diri. Sedangkan pola asuh demokratis menjadikan anak memiliki harga diri yang tinggi dan rasa ingin tahu yang besar serta pandai berinteraksi.
Menurut Darling(2009) terdapat tiga factor utama yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
1.    Jenis kelamin anak; orang tua cenderung bersikap ketat terhadap anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Akan tetapi, tanggung jawab yang besar lebih dibebankan kepada anak laki-laki daripada anak perempuan.
2.    Kebudayaan; hal ini berkaitan dengan perbedaan peran serta tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan
3.    Kelas sosial ekonomi; orang tua dengan kelas sosial ekonomi menengah keatas cenderung menerapkan pola asuh permisif.
pola asuh dapat dikatakan efektif ketika mampu menghasilkan anak yang paham aturan-aturan di masyarakat. Hal-hal yang dapat dilakukan orang tua agar pola asuh menjadi efektif adalah:
a.    Pola asuh haruslah dinamis; pola asuh yang diterapkan kepada anak harus sejalan dengan tumbuh kembang anak, sehingga terdapat perbedaan pola asuh pada balita dengan remaja
b.    Sesuai kebutuhan dan kemampuan anak; hal ini karena setiap anak memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda-beda
c.    Ayah ibu harus kompak; ayah dan ibu sebaiknya bekerja sama dalam menetapkan aturan, batasan dan nilai-nilai yang diberikan kepada anak, sehingga anak tidak mengalami kebingungan.
d.   Disertai perilaku postif orang tua; orang tua diharapkan tidak hanya memberikan aturan, tetapi juga memberikan contoh yang baik pada anak
e.    Komunikasi efektif; mengajak anak berdiskusi serta menjadi pendengar yang baik bagi anak. Hal ini akan membuat anak terlatih untuk menyampaikan perasaan dan pemikirannya
f.     Disiplin; menerapkan sikap disiplin dari hal kecil sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak, sehingga anak terbiasan bersikap disiplin dalam bermasyarakat
g.    Orang tua konsisten; apa yang dikatakan orang tua harus sesuai denan apa yang dikerjakan. Sehingga anak akan belajar untuk konsisten dalam berperilaku.
B.  Teori Autis
Autis merupakan gangguan perkembangan yang kompleks, berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gangguan autistic merupakan gangguan spectrum autism yang parah yang terjadi pada tiga tahun pertama kehidupan dan mencakup defisiensi dalam relasi sosial, abnormalitas dalam komunikasi, serta perilaku dengan pola terbatas, berulang dan stereotip (Santrock, 2011, hal. 326)
Dalam suatu analisis yang dilakukan oleh Durig (Trevarthen,1998) tentang logika pemikiran anak autis dan interaksi dengan yang lain didapatkan bahwa anak autis memiliki kekurangan pada ‘creative induction’ atau membuat penalaran induksi yaitu penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus menuju kesimpulan umum.
Anak autis kesulitan ketika mereka berhubungan sosial, ekspresi sosial mereka terbatas pada ekspresi emosional yang ekstrim seperti menjerit, menangis atau tertawa yang sedalam-dalamnya. Anak autis cenderung tidak suka perubahan, mereka akan marah besar ketika ada perubahan dalam kehidupan mereka.
Ketika mereka sendirian, anak autis akan memperlihatkan perilaku self-stimulating seperti mengepak-ngepakkan tangan, mengayunkan tangan kedepan dan belakang, mengoceh bahkan menyakiti diri sendiri.
Anak autis kesulitan dalam memulai percakapan datau pembicaraan. Mereka cenderung menyuruh orang lain dengan menggeretnya menuju sesuatu yang dia inginkan. Anak autis jarang sekali menyampaikan tindakan komunikatif bahkan etika sosial seperti meminta tolong, mengucap maaf dan terimakasih.
Beberapa factor yang menjadi penyebab adanya gangguan autis pada anak yaitu:
1.    Factor genetic
dr Dwidjo Saputro,Sp. KJ selaku Ketua Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja mengatakan bahwa salah satu factor penyebab adanya gangguan autis adalah genetika atau penyimpangan kromosom (health.detik.com). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian tim dari University of Cambridge yang menunjukkan bahwa adanya hormone steroid yang banyak pada janin dapat menimbulkan terjadinya gangguan autis pada anak  (health.detik.com).
2.    Gangguan pada system syaraf
Banyak penelitian menemukan bahwa hampir semua anak autis mengalami gangguan pada seluruh struktur otak terutama pada otak kecil. Hal ini dikarenakan, otak kecil memiliki fungsi sebagai pengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik. Otak kecil juga sebagai pusat yang mengatur perhatian dan pengindraan, sehingga ketika terjadi kelainan pada otak kecil, maka akan mempengaruhi fungsi-fungsi yang lain.
3.    Ketidak seimbangan kimiawi
Beberapa peneliti juga menemukan bahwa gangguan autis terjadi akibat adanya alergi pada makanan, ketidakseimbangan hormonal, serta peningkatan bahan kimiawi tertentu dalam otak.
Factor penyebab lain yang dapat menimbulkan gangguan autis adalah infeksi yang terjadi sebelum maupun setelah kelahiran seperti virus rubella yang dapat merusak otak. Serta keadaan psikologis seperti keadaan orang tua yang sibuk sehingga tidak memperhatikan anak, jarang mengajak komunikasi anak.

DINAMIKA PSIKOLOGI
Pola pada anak autis sangatlah penting demi proses perkembangan mereka. Seperti yang kita ketahui, anak dengan gangguan autis memiliki kelemahan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, sulit untuk mengungkapkan apa yang mereka inginkan dan pikirkan. Untuk itulah orang tua memiliki peranan penting untuk mengajari anak untuk bersosialisasi.
 Hal pertama yang harus dilakukan oleh orang tua ketika memiliki anak dengan gangguan autis adalah accepting/responsiveness. Orang tua harus menerima kondisi anak dengan menunjukkan kasih sayang, sehingga anak tidak merasa kesepian dan minder meskipun dengan kondisi yang berbeda dengan yang lainnya.
Kemudian, telah dijelaskan dalam kajian pustaka bahwa ketika anak autis sendiri, mereka cenderung menunjukkan sikap self-stimulating hingga dapat mencelakai diri sendiri. Dari sini dibutuhkan peran orang tua untuk tidak membiarkan anak mereka sendirian. Orang tua juga harus sering mengajak anak untuk berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal. Dengan adanya komunikasi ini, anak akan belajar untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan dan pikirkan.
Menyembunyikan anak dari lingkungan sosial bukanlah hal yang baik, sebaliknya anak harus dilatih untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Orang tua sebaiknya tidak selalu menuntut anak untuk selalu berada didalam rumah, tetapi mengajak anak bermain dengan tetangga atau ketaman.
Dari beberapa jenis pola asuh yang ada, pola asuh yang cukup sesuai untuk diterapkan pada anak dengan gangguan autis adalah pola asuh demokratis. Orang tua harus menunjukkan kasih sayang mereka, peka terhadap kebutuhan anak, dan memberikan kebebasan pada anak untuk berkembang tetapi dengan beberapa batasan agar anak tidak mencelakai dirinya sendiri.
Orang tua juga harus mengajari anak dalam melakukan pekerjaan pribadi, karena telah disebutkan diawal bahwa anak autis tidak hanya kesulitan untuk berkomunikasi tetapi juga memiliki beberapa gangguan pada system syaraf sehingga mereka seringkali kesulitan melakukan sesuatu misalkan makan, minum, buang air, dan beberapa kegiatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, M.E. (2010, April 30). Mengembangkan kelebihan anak autis (contoh kasus). Retrieved from http://mlymutz.blogspot.com/2010/04/mengembangkan-kelebihan-anak-autis.html
Santrock, J.W. (2012). Life-span development ed.13 jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Sativa, R.L. (2014, June 5). Bayi rentan autis kalau terpapar banyak hormone pria?. Retrieved from health.detik.com
Sinulingga, E.A. (2013, April 9). Teman, autis bukan gangguan mental. Retrieved from health.detik.com

 


Nabila Dina Azkiyah, Universitas Diponegoro
15010113120076
Nabilaaz30@gmail.com

No comments:

Post a Comment