REVISI PAPER
TEORI
KONFLIK
KELUARGA
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi
Keluarga

Oleh
:
Lailatul
Maghfiroh 15010113120072
Nabila Dina Azkiyah 15010113120076
Nur Hartati 15010113120063
Kelas
4
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
A.
Sejarah
dan Tokoh Teori Konflik
Konflik
merupakan suatu fenomena biasa dan merupakan kenyataan bagi masyarakat yang
terlibat di dalamnya (Puspitawati, 2013). Menurut Waluya (2007) konflik berasal
dari pertentangan kelas antara kelompok tertindas dengan kelompok penguasa,
sehingga akan mengarah pada perubahan sosial.
Teori
konflik sosial telah berkembang sejak Abad 17 dan kemudian populer pada tahun
1960an. Teori konflik berawal dari kritik tajam terhadap paham
positivisme yang berkembang di ranah keilmuwan sosiologi. Kritik tajam tersebut
ditujukan kepada ilmuwan yang mendefinisikan perkembangan dan perubahan sosial
secara linear atau statis. Para kritikus positivisme menganggap bahwa
perkembangan dan perubahan sosial tidaklah disusun atas dasar struktur yang
statis atau linear, melainkan struktur yang tersusun secara dinamis atau
dialektis.
Terdapat
tiga tokoh yang memiliki peran penting dalam lahirnya teori konflik tersebut,
antara lain: Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel. Ketiga tokoh tersebut
menyusun proposisi yang berbeda-beda tentang kejadian konflik di masyarakat dan
dari unit analisis yang berbeda. Sanderson (2003) mengemukakan tiga komponen
dasar dalam analisis sistem sosiokultural yang terdiri atas superstruktur ideologis,
struktur sosial, dan infrastruktur material. Tiga komponen dasar tersebut yang
dijadikan oleh para tokoh untuk menganalisis suatu fenomena atau
kejadian-kejadian sosial yang berlangsung.
1. Karl Marx
Karl Marx yang dikenal dengan teori marxisnya
pada abad 19 menyebutkan bahwa ketika orang-orang yang tertindas bergabung dan
menentang penguasa maka akan mengubah kondisi yang ada. Teori Marx terlahir
sebagai penolakan atas sistem kapitalis yang diterapkan pada masyarakat
industry Eropa abad ke-19 dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia
khususnya kelas bawah atau kelas buruh (proletar). Sehingga, jelaslah bahwa
teori Marx membangun konsep stratifikasi sosial berdasarkan model ekonomi.
Marx menjadikan infrastruktur material sebagai determinasi sistem sosial
yang berlangsung pada masyarakat dan kemudian menyusun proposisinya tentang
proses konflik yang didasarkan atas ketidak setaraan akses terhadap sumberdaya
(Turner, 1998).
Ketidaksertaan ini kemudian membentuk kelompok yang
memposisikan diri sebagai ordinat (mendominasi) di satu sisi dan kelompok
subordinat (termajinalkan) pada sisi lain. Marx mengungkapkan bahwa masyarakat
yang tersubordinasi akan menjadi peduli pada kepentingan kolektif mereka atas
dominasi kelompok ordinat dengan mempertanyakan pola distribusi sumberdaya alam
yang tidak merata. Hal ini berakibat pada rusaknya relasi antara kelompok
ordinat dan kelompok subordinat yang disebabkan karena disposisi alternatif
yang diciptakan oleh kelompok ordinat.
Adanya disposisi ini kemudian menyebabkan kelompok
subordinat membangun kesatuan ideologi untuk mempertanyakan sistem yang
berlangsung dan melakukan perlawanan melalui kepemimpinan kolektif terhadap
kelompok ordinat. Hal ini kemudian menyebabkan polarisasi antara kelompok
ordinat dengan kelompok subordinat berlangsung berkepanjangan.
Skema teori yang dikembangkan oleh Marx menitikberatkan
pada komitmen politik dalam menjadikan konflik sebagai alat dalam mengubah
suatu sistem dalam masyarakat. Marx meyakini bahwa konflik dapat memproduksi
perubahan sosial yang sesuai dengan harapan. Selain itu, pengembangan teori
konflik yang dikembangkan oleh Max menganalisa lebih dalam mengenai faktor
penyebab konflik, hal inilah yang menurutkan akan dapat mempengaruhi hasil
akhir dari sebuah konflik itu sendiri (Turner, 1975).
2. Max Weber
Teori konflik yang dikemukakan oleh Weber menekankan pada
perspektif suprastruktur ideologis (Sanderson, 2003). Weber membangun proposisi
dalam proses konflik antara superordinat dengan subordinat (Turner, 1998). Rancangan
analisa yang dilakukan oleh Weber yaitu:
a. Konflik antara superordinat dengan subordinat dimungkinkan
terjadi apabila terdapat tarikan dari otoritas politik.
b. Tarikan tinggi dari otoritas politik tersebut dapat
terjadi melalui:
·
Keanggotaan dalam kelas
·
Kelompok status
·
Hierarki
·
Diskontinu atau derajat
ketidaksetaraan dalam distribusi sumberdaya dengan hierarki sosial yang tinggi
·
Mobilisasi sosial melalui hierarki
sosial yang didasarkan atas kekuasaan dan prestise, serta kekayaan
c.
Konflik antara superordinat dengan
subordinat dimungkinkan terjadi melalui kepemimpinan yang karismatik sehingga
dapat memobilisasi subordinat.
d.
Melalui kepemimpinan karismatik,
konflik berhasil dicapai dengan tekanan yang kuat terhadap otoritas yang lama
sehingga menghasilkan sistem baru perihal peran dan administrasi.
e.
Sebuah sistem dengan otoritas peran
dan administrasi yang terbentuk tersebut, dapat kembali terjadi tarikan yang
terus berulang (kembali ke proposisi kedua dan seterusya).
Berbeda dengan Marx yang mengonsepkan stratifikasi sosial
berdasarkan model ekonomi saja, Weber dalam mengembangkan teori konflik sosial didasarkan
atas berbagai aspek sosial, seperti politik, agama, dan lain-lain (Wardana,
2014).
Weber menjelaskan bahwa semua aktifitas yang dilakukan
oleh individu dilandasi oleh kepentingan pribadi yang berkaitan erat dengan
tujuan pribadi, nilai dan norma dalam masyarakat serta berbagai aspek materi.
Atas dasar inilah yang kemudian individu membutuhkan kekuasaan sebagai jalan
dalan mencapai kepentingan pribadinya.
3. George Simmel
Simmel menggambarkan masyarakat sebagai suatu pola
interaksi yang menyerupai jarring laba-laba, dimana terdapat berbagai macam
bentuk hubungan sosial didalamnya. Seperti dominasi, subordinasi, kompetisi,
imitasi, pembentukan kelompok dan lain sebagainya. Menurutnya, setiap fenomena
sosial memiliki elemen formal yang bersifat ganda, antara kerja sama dengan
konflik, antara superordinasi dan subordinasi, antara keakraban dan jarak
sosial, yang dijalankan secara teratur dalam struktur yang bersifat birokratis
Simmel dalam pengembangan teorinya menekankan bahwa
asosiasi dan konflik bukanlah fenomena yang terpisah, akan tetapi saling
berkaitan secara intim. Artinya, masyarakat terintegrasi dalam berbagai konflik
individu atau kelompok yang saling tumpang tindiih, sebuah kelompok atau
individu bisa berkonflik dengan kelompok lain dalam satu konteks dan juga bisa
bekerja sama dalam konteks yang lain.
Harmoni dan konflik merupakan fenomena sosial yang
terjadi akibat adanya interaksi dalam masyarakat. Sehingga, konflik menurut
Simmel merupakan suatu keniscayaan dalam dunia sosial (Wardana, 2014).
Menurutnya, suatu sistem sosial tanpa adanya konflik menunjukkan tidak adanya
proses kehidupan (Turner, 1975).
Dari ketiga
tokoh diatas, pandangan Karl Marx dan Weber lebih kepada masyarakat sebagai
unit analisisnya. Berbeda dengan George Simmel yang menekankan unit analisis
individu ke dalam teori konfliknya. Simmel menjelaskan, bahwa salah satu tugas
utama sosiologi adalah memahami interaksi antar individu yang dapat melahirkan
konflik maupun solidaritas antar sesama (Ritzer & Goodman, 2003). Dari
penjelasan tersebut, maka proposisi-proposisi yang dibangun Simmel cenderung
melihat kejadian konflik dikarenakan interaksi antar individu yang memiliki
kekuatan emosional yang dapat membangun ikatan solidaritas antar sesama.
Akan
tetapi, sesudah ketiga tokoh tersebut konflik dianggap sebagai patologi sosial
hingga dasawarsa keenam (Tumengkol, 2012). Hingga pada akhirnya Lewis A. Coser
pada tahun 1956 mengembangan teori baru, yaitu teori konflik yang menyatakan
bahwa konflik merupakan kesadaran yang tercermin atas semangat pembaharuan
masyarakat. Munculnya Coser kemudian disusul oleh tokoh-tokoh lain seperti
Dahrendorf. Coser dalam mengembangkan teorinya berfokus pada sumbangan konflik yang secara potensial
positif dalam membentuk dan mempertahankan struktur.
B.
Keluarga
dan Konflik
Terdapat dua pandangan mengenai
konflik yang berkembang terutama dalam kajian organisasi, yaitu:
No.
|
Pandangan lama (Tradisional)
|
Pandangan Baru (Modern)
|
1
|
Konflik dapat dihindarkan
|
Konflik tidak dapat dihindarkan
|
2
|
Konflik disebabkan oleh kesalahan-kesalahan manajemen dalam perancangan
dan pengelolaan organisasi / oleh pengacau
|
Konflik timbul karena banyak sebab, termasuk struktur organisasi, perbedaan
tujuan yang tidak dapat dihindarkan, perbedaan dalam persepsi dan nilai-nilai
pribadi dan sebagainya
|
3
|
Konflik mengganggu organisasi dan menghalangi pelaksanaan optimal
|
Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan kegiatan organisasi dalam
berbagai derajat
|
4
|
Tugas manajemen adalah menghilangkan konflik
|
Tugas manajemen adalah mengelola tingkat konflik dan penyelesaiaannya
|
5
|
Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan penghapusan
konflik
|
Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan tingkat konflik
moderat
|
(Sedarmayanti, 2014)
Berdasarkan pandangan diatas dapat
disimpulkan bahwa dewasa ini konflik dianggap sebagai suatu hal yang tidak
hanya bersifat negatif, tetapi mengandung sumbangan positif terhadap suatu organisasi.
Selain itu, keberadaan konflik telah menjadi satu hal yang melekat pada
organisasi sehingga tidak dapat dihindarkan.
Tidak hanya dalam sebuah organisasi,
adanya konflik menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang
disebutkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, bahwa dengan adanya konflik, masyarakat
akan berusaha untuk memperbaharui sistem yang telah ada menjadi tatanan yang
lebih baik.
Terdapat tiga hal utama yang menjadi
sumber terjadinya konflik, baik dalam suatu organisasi maupun secara luas dalam
masyarakat seperti yang dijelaskan oleh Sedarmayanti (2014), yaitu:
a.
Masalah Komunikasi
Komunikasi seringkali menjadi faktor
utama terjadinya sebuah konflik akibat adanya kesalahan dalam menanggapi
informasi yang diterima.
b.
Masalah Struktur
Adanya pertarungan kekuasaan atau
perbedaan penilaian mengenai sistem yang ada dapat menimbulkan konflik dalam
tatanan kehidupan masyarakat.
c.
Masalah Pribadi
Individu memiliki sifat dasar yang
cenderung mementingkan diri sendiri daripada kelompok. Sifat inilah menurut
Lockwood akan memunculkan diferensiasi kekuasaan yang berdampak pada penindasan
kelompok tertentu (Puspitawati 2013). Perbedaan
nilai, norma, ideologi maupun tujuan yang dimiliki oleh masing-masing individu
dapat memicu timbulnya konflik ketika perbedaan tersebut mengalami pergesekan.
Klein & White (1996) menyebutkan terdapat beberapa asumsi dari teori
konflik, yaitu:
1. Manusia
tidak mau tunduk pada konsensus
2. Manusia
adalah individu otonom yang memiliki kemauan sendiri tanpa harus tunduk kepada
norma dan nilai, sehingga dimotivasi terutama oleh
keinginannya sendiri
3. Konflik adalah endemik di kelompok sosial
4. Tingkatan masyarakat yang normal
cenderung memiliki konflik daripada keselarasan
5. Konflik
merupakan suatu konfrontasi antara idividu, grup atas sumber daya tertentu
Puspitawati
(2013) menjelaskan bahwa terdapat empat hal penting dalam memahami teori
konflik sosial, yaitu:
1. Kompetisi (atas kelangkaan sumberdaya seperti makanan, kesenangan,
partner seksual, dan sebagainya. Dasar interaksi manusia bukanlah konsensus
seperti yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada kompetisi.
2. Terdapat ketidaksamaan struktural dalam hal kekuasaan.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan maksimal.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara
keinginan (interest) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar
adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner
daripada evolusioner.
Unit
keluarga sebagai sebuah institusi sosial tidak berbeda jauh dengan kelompok
sosial yang lainnya. Meskipun demikian, keluarga merupakan sebuah institusi
sosial yang bersifat kompleks dimana hukum dan peraturan informal, tradisi dan
kepribadian individu terbentuk.
Sama
halnya dengan masyarakat, teori konflik memandang keluarga sebagai suatu
kelompok yang tidak dapat terlepas dari konflik. Teori konflik sosial dalam
keluarga tidak sepakat bahwa keluarga merupakan unit sosial yang harmonis,
stabil dan damai. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kekuasaan seperti
diferensiasi status antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga yang kemudian
memunculkan situasi perselisihan, konflik dan persaingan.
Namun,
dalam perkembangannya teori konflik kurang dapat diintegrasikan dalam studi
mengenai keluarga. Hal ini disebabkan adanya beberapa hambatan diantaranya
dominasi laki-laki, politik konservatif serta tafsiran struktural-fungsionalis
mengenai realitas sosial. Hambatan ini kemudian menjadikan konflik
dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif dan asumsi bahwa konflik dalam
keluarga merupakan penyimpangan. Dalam konteks sosial yang lebih besar,
keluarga dianggap sebagai sebuah lembaga yang suci. Akibatnya, kurang adanya
dukungan yang dapat meyakinkan dalam penelitian mengenai konflik dalam keluarga
(Farrington, 1993).
Menanggapi
hal tersebut,, kemudian pada tahun 1970an terdapat sebuah penelitian yang
kemudian memunculkan beberapa topik
substantif mengenai kajian konflik dalam keluarga, diantaranya:
1. Konflik
suami istri
2. Pola
komunikasi dalam keluarga
3. Konflik
antara orang tua dan anak-anak
4. Hubungan
antara saudara kandung
5. Perselisihan
keluarga atas warisan
6. Manajemen
konflik intrafamili
7. Terapi
perkawinan dan konseling
8. Kekuatan,
termasuk ancaman dalam keluarga
9. Hambatan
struktural yang dihadapi perempuan dalam pendidikan tinggi (Farrington, 1993).
Farrington
(1993) menjelaskan terdapat dua hal yang memungkinkan timbulnya konflik, yaitu:
a. Masing-masing
individu atau kelompok memiliki perbedaan keinginan, dalam lingkungan keluarga,
Farrington mencontohkan ketika anak-anak memiliki keinginan yang berbeda dengan
orang tua ketika menonton televisi.
b. Masing-masing
individu memiliki keinginan yang sama, namun sumber daya yang diinginkan
terbatas. Hal ini seringkali terjadi diantara saudara seperti perselisihan
mendapatkan roti.
Konflik dapat timbul karena ketidakcocokan antara kedua belah
pihak, baik karena berlawanan atau perbedaan. Ketidakcocokan tersebut juga
dapat disebabkan oleh kesalahan persepsi dan komunikasi.
Konflik adalah peristiwa sosial yang mencakup pertentangan atau
ketidaksetujuan (Lestari, 2012). Dalam teori
konflik, semakin dekat hubungan seseorang maka akan semakin berpotensi
mengalami konflik. Begitu halnya dalam
keluarga, karena sudah ada rasa saling ketergantungan antar anggota keluarga,
maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Konflik dalam keluarga juga bisa disebabkan
karena adanya ketidaksetujuan atau perilaku oposisi antar anggota keluarga.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa konflik merupakan
sebuah keniscayaan dalam kehidupan, adanya konflik membuktikan bahwa terdapat
proses interaksi yang kemudian memunculkan dinamika dalam kelompok sosial.
Kemudian, yang lebih penting dari sebuah konflik adalah mengelola konflik
menjadi lebih moderat dan menjadikannya sebagai pembaharu dalam kehidupan.
Menurut
Rubin (dalam Lestari, 2012),
pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
·
Penguasaan (domination), ketika salah satu pihak
berupaya memaksakan kehendaknya baik dilakukan secara fisik maupun psikologis
·
Penyerahan (capitulation), ketika salah satu
pihak secara sepihak menyerahkan
kemenangan kepada pihak lain
·
Pengacuhan (inaction), ketika salah satu pihak tidak
melakukan apa-apa, sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik
·
Penarikan diri (withdrawal), ketika salah satu pihak
menarik diri dari keterlibatan dengan konflik
·
Tawar-menawar (negotiation), ketika pihak-pihak yang
berkonflik saling bertukar gagasan , dan tawar-menawar untuk menghasilkan
kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak
·
Campur tangan
pihak ketiga (third-party intervention),
ketika terdapat pihak yang tidak terlibat konflik dan dijadikan sebagai
penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak yang berkonflik.
Sedangkan
menurut Harriet Goldhor Lerner (dalam Lestari, 2012) terdapat lima cara yang
digunakan oleh individu dalam menangani konflik, yaitu:
·
Pemburu (pursuer), yaitu individu yang berusaha
membangun hubungan lebih dekat
·
Penghindar (distancer), yaitu individu cenderung
mengambil jarak secara emosi
·
Pecundang (underfunctioner), yaitu individu yang
gagal menunjukkan kompetensi atau
aspirasinya
·
Penakluk (overfunctioner), yaitu individu yang
cenderung megambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain
·
Pengutuk (blamer), yaitu ndividu yang selalu
menyalahkan orang lain atau keadaan
Berdasarkan
kelima cara tersebut, individu dengan ciri pemburu akan meningkatkan relasinya,
sehingga jika terjadi konflik, mereka akan menghadapi konflik tersebut dan
berusaha menyelesaikannya.
Terlepas
dari itu semua, penyelesaian konflik dalam keluarga menjadi hal yang sangat
penting. Karena keluarga merupakan sebuah institusi sosial yang memiliki fungsi
dan peran penting dalam segala aspek kehidupan. Pembentukan sebuah keluarga
yang melalui proses panjang dengan janji yang diucapkan melalui pernikahan, maka
konflik merupakan suatu tantangan dalam pernikahan serta sebagai penilaian
sejauh mana janji tersebut dapat dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
Contoh Kasus
Digugat
Cerai, Cathy Sharon Alami Gangguan Psikis
Liputan6.com,
Jakarta Cathy Sharon digugat
cerai suami, Eka Kusuma. Rumah tangga yang dibina empat tahun terakhir terancam
runtuh. Isu Cathy yang gemar pulang malam dan Eka memiliki wanita idaman lain
(WIL) mengiringi proses cerai keduanya.
Akibat gugatan cerai Eka, Cathy dikabarkan
mengalami gangguan psikis. Hal itu terjadi lantaran kakak Julie Estelle ini
masih ingin mempertahankan rumah tangga demi kedua anaknya.
"Psikis agak terganggu. Karena
memang secara naluri keibuan dua orang anak. Cathy masih ingin mempertahankan
keluarga yang utuh, semua demi anak-anak," kata pengacara Cathy Sharon,
Fajri Yusuf Herman saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (1/3/2016).
Setelah rumah tangganya bergejolak,
tak ada yang berubah dengan kegiatan sehari-hari Cathy. Bahkan, kebersamaannya
dengan anak-anak semakin intens.
"Aktivitas biasa saja. Karena
mengurus anak bukan hal baru, Cathy selalu meluangkan waktunya untuk bersama
anak-anak," ucapnya.
Analisis
Kasus
Berdasarkan kasus di atas, maka dapat diterangkan bahwa
terdapat konflik keluarga yang terjadi pada Chaty Sharon. Suaminya menggugat cerai karena dikabarkan Chaty sering pulang malam dan
dugaan sang suami memiliki orang ketiga. Menurut Agoes Dariyo (dalam Estuti,
2013), perceraian adalah peristiwa yang sebenarnya tidak dikehendaki dan
direncanakan oleh pasangan yang terikat dalam ikatan perkawinan. Hal yang biasa
meyebabkan perceraian adalah karena sudah tidak ada lagi kecocokan antara
pasangan suami isteri.
Jika ditinjau dari teori konflik, perceraian tersebut
terjadi karena seringnya muncul kecurigaan dan rasa tidak percaya pada
pasangan, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan. Chaty sering pulang malam,
sehingga kemungkinan muncul rasa curiga dari suami dan timbul ketidakpercayaan
terhadap alasan yang disampaikan Chaty. Hal ini dapat
disebabkan akibat dari kurang optimalnya pola komunikasi yang berlangsung dalam
keluarga sebab kurangnya intensitas pasangan bertemu.
Sayangnya,
dalam penyelesaian konflik ini Eka sebagai kepala keluarga cenderung menjadi overfunctioner
dengan menganggap bahwa perceraian merupakan satu-satunya jalan terbaik.
Keputusan tersebut nampaknya tidak mempertimbangkan sudut pandang pihak Chaty,
sehingga terdapat disfungsi perannya sebagai seorang istri yang seharusnya
memiliki hak dalam pengambilan keputusan dalam keluarga.
Dampak dari konflik ini adalah kondisi
psikologis Chaty akibat
adanya tekanan yang menimbulkan stress. Keinginan dalam diri Cathy untuk
mempertahankan pernikahan sebab adanya anak-anak yang kemudian bergesekan
dengan dominasi suami yang menginginkan perceraian membuat Cathy merasa
tertekan. Dalam hal ini jelas terlihat adanya pihak yang menjadi ordinat yaitu
Eka dan subordinat yaitu Cathy, terlepas dari dugaan-dugaan yang menjadikan
sebab perceraian.
Dampak lain yang terjadi adalah kepada kedua anaknya. Hal
tersebut karena dengan mengetahui kedua orang tuanya bercerai, maka kondisi
emosi anak bisa saja tidak stabil. Rasa cemas terhadap perpisahan, rasa marah
kepada kedua orang tua, dan akan ada rasa malu terhadap teman sebayanya.
DAFTAR PUSTAKA
Estuti, W. T.
(2013). Dampak perceraian orang tua terhadap tingkat kematangan emosi anak
kasus pada 3 siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Pekuncen Banyumas tahun ajaran
2012/2013. Skripsi. Semarang:
Universtas Negeri Semarang.
Farrington, K., & Chertok, E. (1993). Social conflict theories of the family. New York: Plenum.
Klein, D. M., & James M. White. (1996). Family theories- an introduction.
London: Sage Publication International Educational and Professional Publisher.
Lestari,
S. (2012). Psikologi keluarga: Penanaman
nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Puspitawati, H. (2013). Konsep dan teori keluarga. Bogor:
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut
Pertaniann Bogor.
Ritzer, G.,
& Goodman, D. (2003). Teori sosiologi
modern. Jakarta: Kencana.
Sanderson, S. (2003). Makro
sosiologi: Sebuah pendekatan terhadap realitas sosial (edisi kedua).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sedarmayanti. (2014). Manajemen sumber daya manusia
reformasi birokrasi dan manajemen pegawai negeri sipil. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Simmel, G. (1904). The sociology of conflict. I. American
journal of sociology, 9(4):490-525.
Tumengkol, S.M. (2012). Teori sosiologi suatu perspektif
tentang teori konflik dalam masyarakat industri. Karya ilmiah. Diakses
dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwijgqG9wqPLAhXRcY4KHTTjAA0QFggcMAA&url=http%3A%2F%2Frepo.unsrat.ac.id%2F627%2F1%2FKARYA_ILMIAH_TUMENGKOL6.pdf&usg=AFQjCNErd3mo_QlSXOMkk_dzC5_mkZkurw&sig2=RmnQoc-77oeoX4myV7C5lg.
Turner, J. (1998). The
Structure of sociological theory (sixth edition). Belmont, CA: Wadsworth
Publishing Company.
_________(1975). Marx and simmel revisited: reassessing the foundations of
conflict theory. Social forces, 53(4):618-627.
Vagelisti, A.
L. (2004). Handbook of family
communication. London: Lawrence Erlbaum Associates.
Waluya, B. (2007). Sosiologi: menyelami fenomena sosial di masyarakat. Bandung: PT
Setia Purna Inves.
Wardana, A. (2014). Teori konflik 2: non
marxis. Handout kuliah. Diakses dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwje8rf7wqPLAhUXc44KHZtNDbMQFggkMAI&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fpendidikan%2FAmika%2520Wardana%2C%2520Ph.D.%2FHandout%2520Kuliah%252006%2520Teori%2520konflik%25202%2520Non%2520Marxist%2520(TSK)%2520(Wardana).pdf&usg=AFQjCNFJGE8oDnAixsr2JSU1MHPjFtRKKg&sig2=VSF9WPBvvpH-YLt0qPjGvw.
No comments:
Post a Comment