3/10/2016

Psikologi Keluarga: Teori Konflik Keluarga



REVISI PAPER
TEORI KONFLIK KELUARGA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Keluarga


Oleh :
Lailatul Maghfiroh                              15010113120072
Nabila Dina Azkiyah                          15010113120076
Nur Hartati                                        15010113120063
Kelas 4


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
A.    Sejarah dan Tokoh Teori Konflik
Konflik merupakan suatu fenomena biasa dan merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya (Puspitawati, 2013). Menurut Waluya (2007) konflik berasal dari pertentangan kelas antara kelompok tertindas dengan kelompok penguasa, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial.
Teori konflik sosial telah berkembang sejak Abad 17 dan kemudian populer pada tahun 1960an. Teori konflik berawal dari kritik tajam terhadap paham positivisme yang berkembang di ranah keilmuwan sosiologi. Kritik tajam tersebut ditujukan kepada ilmuwan yang mendefinisikan perkembangan dan perubahan sosial secara linear atau statis. Para kritikus positivisme menganggap bahwa perkembangan dan perubahan sosial tidaklah disusun atas dasar struktur yang statis atau linear, melainkan struktur yang tersusun secara dinamis atau dialektis.
Terdapat tiga tokoh yang memiliki peran penting dalam lahirnya teori konflik tersebut, antara lain: Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel. Ketiga tokoh tersebut menyusun proposisi yang berbeda-beda tentang kejadian konflik di masyarakat dan dari unit analisis yang berbeda. Sanderson (2003) mengemukakan tiga komponen dasar dalam analisis sistem sosiokultural yang terdiri atas superstruktur ideologis, struktur sosial, dan infrastruktur material. Tiga komponen dasar tersebut yang dijadikan oleh para tokoh untuk menganalisis suatu fenomena atau kejadian-kejadian sosial yang berlangsung.
1.      Karl Marx
Karl Marx yang dikenal dengan teori marxisnya pada abad 19 menyebutkan bahwa ketika orang-orang yang tertindas bergabung dan menentang penguasa maka akan mengubah kondisi yang ada. Teori Marx terlahir sebagai penolakan atas sistem kapitalis yang diterapkan pada masyarakat industry Eropa abad ke-19 dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas bawah atau kelas buruh (proletar). Sehingga, jelaslah bahwa teori Marx membangun konsep stratifikasi sosial berdasarkan model ekonomi.
Marx menjadikan infrastruktur  material sebagai determinasi sistem sosial yang berlangsung pada masyarakat dan kemudian menyusun proposisinya tentang proses konflik yang didasarkan atas ketidak setaraan akses terhadap sumberdaya (Turner, 1998).
Ketidaksertaan ini kemudian membentuk kelompok yang memposisikan diri sebagai ordinat (mendominasi) di satu sisi dan kelompok subordinat (termajinalkan) pada sisi lain. Marx mengungkapkan bahwa masyarakat yang tersubordinasi akan menjadi peduli pada kepentingan kolektif mereka atas dominasi kelompok ordinat dengan mempertanyakan pola distribusi sumberdaya alam yang tidak merata. Hal ini berakibat pada rusaknya relasi antara kelompok ordinat dan kelompok subordinat yang disebabkan karena disposisi alternatif yang diciptakan oleh kelompok ordinat.
Adanya disposisi ini kemudian menyebabkan kelompok subordinat membangun kesatuan ideologi untuk mempertanyakan sistem yang berlangsung dan melakukan perlawanan melalui kepemimpinan kolektif terhadap kelompok ordinat. Hal ini kemudian menyebabkan polarisasi antara kelompok ordinat dengan kelompok subordinat berlangsung berkepanjangan.
Skema teori yang dikembangkan oleh Marx menitikberatkan pada komitmen politik dalam menjadikan konflik sebagai alat dalam mengubah suatu sistem dalam masyarakat. Marx meyakini bahwa konflik dapat memproduksi perubahan sosial yang sesuai dengan harapan. Selain itu, pengembangan teori konflik yang dikembangkan oleh Max menganalisa lebih dalam mengenai faktor penyebab konflik, hal inilah yang menurutkan akan dapat mempengaruhi hasil akhir dari sebuah konflik itu sendiri (Turner, 1975).


2.      Max Weber
Teori konflik yang dikemukakan oleh Weber menekankan pada perspektif suprastruktur ideologis (Sanderson, 2003). Weber membangun proposisi dalam proses konflik antara superordinat dengan subordinat (Turner, 1998). Rancangan analisa yang dilakukan oleh Weber yaitu:
a.       Konflik antara superordinat dengan subordinat dimungkinkan terjadi apabila terdapat tarikan dari otoritas politik.
b.      Tarikan tinggi dari otoritas politik tersebut dapat terjadi melalui:
·         Keanggotaan dalam kelas
·         Kelompok status
·         Hierarki
·         Diskontinu atau derajat ketidaksetaraan dalam distribusi sumberdaya dengan hierarki sosial yang tinggi
·         Mobilisasi sosial melalui hierarki sosial yang didasarkan atas kekuasaan dan prestise, serta kekayaan
c.       Konflik antara superordinat dengan subordinat dimungkinkan terjadi melalui kepemimpinan yang karismatik sehingga dapat memobilisasi subordinat.
d.      Melalui kepemimpinan karismatik, konflik berhasil dicapai dengan tekanan yang kuat terhadap otoritas yang lama sehingga menghasilkan sistem baru perihal peran dan administrasi.
e.       Sebuah sistem dengan otoritas peran dan administrasi yang terbentuk tersebut, dapat kembali terjadi tarikan yang terus berulang (kembali ke proposisi kedua dan seterusya).
Berbeda dengan Marx yang mengonsepkan stratifikasi sosial berdasarkan model ekonomi saja, Weber dalam mengembangkan teori konflik sosial didasarkan atas berbagai aspek sosial, seperti politik, agama, dan lain-lain (Wardana, 2014).
Weber menjelaskan bahwa semua aktifitas yang dilakukan oleh individu dilandasi oleh kepentingan pribadi yang berkaitan erat dengan tujuan pribadi, nilai dan norma dalam masyarakat serta berbagai aspek materi. Atas dasar inilah yang kemudian individu membutuhkan kekuasaan sebagai jalan dalan mencapai kepentingan pribadinya.

3.      George Simmel
Simmel menggambarkan masyarakat sebagai suatu pola interaksi yang menyerupai jarring laba-laba, dimana terdapat berbagai macam bentuk hubungan sosial didalamnya. Seperti dominasi, subordinasi, kompetisi, imitasi, pembentukan kelompok dan lain sebagainya. Menurutnya, setiap fenomena sosial memiliki elemen formal yang bersifat ganda, antara kerja sama dengan konflik, antara superordinasi dan subordinasi, antara keakraban dan jarak sosial, yang dijalankan secara teratur dalam struktur yang bersifat birokratis
Simmel dalam pengembangan teorinya menekankan bahwa asosiasi dan konflik bukanlah fenomena yang terpisah, akan tetapi saling berkaitan secara intim. Artinya, masyarakat terintegrasi dalam berbagai konflik individu atau kelompok yang saling tumpang tindiih, sebuah kelompok atau individu bisa berkonflik dengan kelompok lain dalam satu konteks dan juga bisa bekerja sama dalam konteks yang lain.
Harmoni dan konflik merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat adanya interaksi dalam masyarakat. Sehingga, konflik menurut Simmel merupakan suatu keniscayaan dalam dunia sosial (Wardana, 2014). Menurutnya, suatu sistem sosial tanpa adanya konflik menunjukkan tidak adanya proses kehidupan (Turner, 1975).

Dari ketiga tokoh diatas, pandangan Karl Marx dan Weber lebih kepada masyarakat sebagai unit analisisnya. Berbeda dengan George Simmel yang menekankan unit analisis individu ke dalam teori konfliknya. Simmel menjelaskan, bahwa salah satu tugas utama sosiologi adalah memahami interaksi antar individu yang dapat melahirkan konflik maupun solidaritas antar sesama (Ritzer & Goodman, 2003). Dari penjelasan tersebut, maka proposisi-proposisi yang dibangun Simmel cenderung melihat kejadian konflik dikarenakan interaksi antar individu yang memiliki kekuatan emosional yang dapat membangun ikatan solidaritas antar sesama.
Akan tetapi, sesudah ketiga tokoh tersebut konflik dianggap sebagai patologi sosial hingga dasawarsa keenam (Tumengkol, 2012). Hingga pada akhirnya Lewis A. Coser pada tahun 1956 mengembangan teori baru, yaitu teori konflik yang menyatakan bahwa konflik merupakan kesadaran yang tercermin atas semangat pembaharuan masyarakat. Munculnya Coser kemudian disusul oleh tokoh-tokoh lain seperti Dahrendorf. Coser dalam mengembangkan teorinya berfokus pada  sumbangan konflik yang secara potensial positif dalam membentuk dan mempertahankan struktur.
B.     Keluarga dan Konflik
Terdapat dua pandangan mengenai konflik yang berkembang terutama dalam kajian organisasi, yaitu:
No.
Pandangan lama (Tradisional)
Pandangan Baru (Modern)
1
Konflik dapat dihindarkan
Konflik tidak dapat dihindarkan
2
Konflik disebabkan oleh kesalahan-kesalahan manajemen dalam perancangan dan pengelolaan organisasi / oleh pengacau


Konflik timbul karena banyak sebab, termasuk struktur organisasi, perbedaan tujuan yang tidak dapat dihindarkan, perbedaan dalam persepsi dan nilai-nilai pribadi dan sebagainya
3
Konflik mengganggu organisasi dan menghalangi pelaksanaan optimal


Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan kegiatan organisasi dalam berbagai derajat
4
Tugas manajemen adalah menghilangkan konflik

Tugas manajemen adalah mengelola tingkat konflik dan penyelesaiaannya
5
Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan penghapusan konflik
Pelaksanaan kegiatan organisasi yang optimal membutuhkan tingkat konflik moderat
(Sedarmayanti, 2014)
Berdasarkan pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa ini konflik dianggap sebagai suatu hal yang tidak hanya bersifat negatif, tetapi mengandung sumbangan positif terhadap suatu organisasi. Selain itu, keberadaan konflik telah menjadi satu hal yang melekat pada organisasi sehingga tidak dapat dihindarkan.
Tidak hanya dalam sebuah organisasi, adanya konflik menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang disebutkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, bahwa dengan adanya konflik, masyarakat akan berusaha untuk memperbaharui sistem yang telah ada menjadi tatanan yang lebih baik.
Terdapat tiga hal utama yang menjadi sumber terjadinya konflik, baik dalam suatu organisasi maupun secara luas dalam masyarakat seperti yang dijelaskan oleh Sedarmayanti (2014), yaitu:
a.       Masalah Komunikasi
Komunikasi seringkali menjadi faktor utama terjadinya sebuah konflik akibat adanya kesalahan dalam menanggapi informasi yang diterima.
b.      Masalah Struktur
Adanya pertarungan kekuasaan atau perbedaan penilaian mengenai sistem yang ada dapat menimbulkan konflik dalam tatanan kehidupan masyarakat.
c.       Masalah Pribadi
Individu memiliki sifat dasar yang cenderung mementingkan diri sendiri daripada kelompok. Sifat inilah menurut Lockwood akan memunculkan diferensiasi kekuasaan yang berdampak pada penindasan kelompok tertentu (Puspitawati 2013). Perbedaan nilai, norma, ideologi maupun tujuan yang dimiliki oleh masing-masing individu dapat memicu timbulnya konflik ketika perbedaan tersebut mengalami pergesekan.
Klein & White (1996) menyebutkan terdapat beberapa asumsi dari teori konflik, yaitu:
1.      Manusia tidak mau tunduk pada konsensus
2.      Manusia adalah individu otonom yang memiliki kemauan sendiri tanpa harus tunduk kepada norma dan nilai, sehingga dimotivasi terutama oleh keinginannya sendiri
3.      Konflik adalah endemik di kelompok sosial
4.      Tingkatan masyarakat yang normal cenderung memiliki konflik daripada keselarasan
5.      Konflik merupakan suatu konfrontasi antara idividu, grup atas sumber daya tertentu
Puspitawati (2013) menjelaskan bahwa terdapat empat hal penting dalam memahami teori konflik sosial, yaitu:
1.      Kompetisi (atas kelangkaan sumberdaya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Dasar interaksi manusia bukanlah konsensus seperti yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada kompetisi.
2.      Terdapat ketidaksamaan struktural dalam hal kekuasaan.
3.      Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan maksimal.
4.      Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interest) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.
Unit keluarga sebagai sebuah institusi sosial tidak berbeda jauh dengan kelompok sosial yang lainnya. Meskipun demikian, keluarga merupakan sebuah institusi sosial yang bersifat kompleks dimana hukum dan peraturan informal, tradisi dan kepribadian individu terbentuk.
Sama halnya dengan masyarakat, teori konflik memandang keluarga sebagai suatu kelompok yang tidak dapat terlepas dari konflik. Teori konflik sosial dalam keluarga tidak sepakat bahwa keluarga merupakan unit sosial yang harmonis, stabil dan damai. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kekuasaan seperti diferensiasi status antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga yang kemudian memunculkan situasi perselisihan, konflik dan persaingan.
Namun, dalam perkembangannya teori konflik kurang dapat diintegrasikan dalam studi mengenai keluarga. Hal ini disebabkan adanya beberapa hambatan diantaranya dominasi laki-laki, politik konservatif serta tafsiran struktural-fungsionalis mengenai realitas sosial. Hambatan ini kemudian menjadikan konflik dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif dan asumsi bahwa konflik dalam keluarga merupakan penyimpangan. Dalam konteks sosial yang lebih besar, keluarga dianggap sebagai sebuah lembaga yang suci. Akibatnya, kurang adanya dukungan yang dapat meyakinkan dalam penelitian mengenai konflik dalam keluarga (Farrington, 1993).
Menanggapi hal tersebut,, kemudian pada tahun 1970an terdapat sebuah penelitian yang kemudian memunculkan beberapa topik substantif mengenai kajian konflik dalam keluarga, diantaranya:
1.      Konflik suami istri
2.      Pola komunikasi dalam keluarga
3.      Konflik antara orang tua dan anak-anak
4.      Hubungan antara saudara kandung
5.      Perselisihan keluarga atas warisan
6.      Manajemen konflik intrafamili
7.      Terapi perkawinan dan konseling
8.      Kekuatan, termasuk ancaman dalam keluarga
9.      Hambatan struktural yang dihadapi perempuan dalam pendidikan tinggi (Farrington, 1993).
Farrington (1993) menjelaskan terdapat dua hal yang memungkinkan timbulnya konflik, yaitu:
a.       Masing-masing individu atau kelompok memiliki perbedaan keinginan, dalam lingkungan keluarga, Farrington mencontohkan ketika anak-anak memiliki keinginan yang berbeda dengan orang tua ketika menonton televisi.
b.      Masing-masing individu memiliki keinginan yang sama, namun sumber daya yang diinginkan terbatas. Hal ini seringkali terjadi diantara saudara seperti perselisihan mendapatkan roti.
Konflik dapat timbul karena ketidakcocokan antara kedua belah pihak, baik karena berlawanan atau perbedaan. Ketidakcocokan tersebut juga dapat disebabkan oleh kesalahan persepsi dan komunikasi.
Konflik adalah peristiwa sosial yang mencakup pertentangan atau ketidaksetujuan (Lestari, 2012). Dalam teori konflik, semakin dekat hubungan seseorang maka akan semakin berpotensi mengalami konflik.  Begitu halnya dalam keluarga, karena sudah ada rasa saling ketergantungan antar anggota keluarga, maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar.  Konflik dalam keluarga juga bisa disebabkan karena adanya ketidaksetujuan atau perilaku oposisi antar anggota keluarga.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan, adanya konflik membuktikan bahwa terdapat proses interaksi yang kemudian memunculkan dinamika dalam kelompok sosial. Kemudian, yang lebih penting dari sebuah konflik adalah mengelola konflik menjadi lebih moderat dan menjadikannya sebagai pembaharu dalam kehidupan.
Menurut Rubin (dalam Lestari, 2012), pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
·         Penguasaan (domination), ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendaknya baik dilakukan secara fisik maupun psikologis
·         Penyerahan (capitulation), ketika salah satu pihak  secara sepihak menyerahkan kemenangan kepada pihak lain
·         Pengacuhan (inaction), ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa, sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik
·         Penarikan diri (withdrawal), ketika salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik
·         Tawar-menawar (negotiation), ketika pihak-pihak yang berkonflik saling bertukar gagasan , dan tawar-menawar untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak
·         Campur tangan pihak ketiga (third-party intervention), ketika terdapat pihak yang tidak terlibat konflik dan dijadikan sebagai penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak yang berkonflik.
Sedangkan menurut Harriet Goldhor Lerner (dalam Lestari, 2012) terdapat lima cara yang digunakan oleh individu dalam menangani konflik, yaitu:
·         Pemburu (pursuer), yaitu individu yang berusaha membangun hubungan lebih dekat
·         Penghindar (distancer), yaitu individu cenderung mengambil jarak secara emosi
·         Pecundang (underfunctioner), yaitu individu yang gagal menunjukkan  kompetensi atau aspirasinya
·         Penakluk (overfunctioner), yaitu individu yang cenderung megambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain
·         Pengutuk (blamer), yaitu ndividu yang selalu menyalahkan orang lain atau keadaan
Berdasarkan kelima cara tersebut, individu dengan ciri pemburu akan meningkatkan relasinya, sehingga jika terjadi konflik, mereka akan menghadapi konflik tersebut dan berusaha menyelesaikannya.
Terlepas dari itu semua, penyelesaian konflik dalam keluarga menjadi hal yang sangat penting. Karena keluarga merupakan sebuah institusi sosial yang memiliki fungsi dan peran penting dalam segala aspek kehidupan. Pembentukan sebuah keluarga yang melalui proses panjang dengan janji yang diucapkan melalui pernikahan, maka konflik merupakan suatu tantangan dalam pernikahan serta sebagai penilaian sejauh mana janji tersebut dapat dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
 


Contoh Kasus
Digugat Cerai, Cathy Sharon Alami Gangguan Psikis
Liputan6.com, Jakarta Cathy Sharon digugat cerai suami, Eka Kusuma. Rumah tangga yang dibina empat tahun terakhir terancam runtuh. Isu Cathy yang gemar pulang malam dan Eka memiliki wanita idaman lain (WIL) mengiringi proses cerai keduanya.
Akibat gugatan cerai Eka, Cathy dikabarkan mengalami gangguan psikis. Hal itu terjadi lantaran kakak Julie Estelle ini masih ingin mempertahankan rumah tangga demi kedua anaknya.
"Psikis agak terganggu. Karena memang secara naluri keibuan dua orang anak. Cathy masih ingin mempertahankan keluarga yang utuh, semua demi anak-anak," kata pengacara Cathy Sharon, Fajri Yusuf Herman saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (1/3/2016).
Setelah rumah tangganya bergejolak, tak ada yang berubah dengan kegiatan sehari-hari Cathy. Bahkan, kebersamaannya dengan anak-anak semakin intens.
"Aktivitas biasa saja. Karena mengurus anak bukan hal baru, Cathy selalu meluangkan waktunya untuk bersama anak-anak," ucapnya.

Analisis Kasus
Berdasarkan kasus di atas, maka dapat diterangkan bahwa terdapat konflik keluarga yang terjadi pada Chaty Sharon. Suaminya menggugat cerai karena dikabarkan Chaty sering pulang malam dan dugaan sang suami memiliki orang ketiga. Menurut Agoes Dariyo (dalam Estuti, 2013), perceraian adalah peristiwa yang sebenarnya tidak dikehendaki dan direncanakan oleh pasangan yang terikat dalam ikatan perkawinan. Hal yang biasa meyebabkan perceraian adalah karena sudah tidak ada lagi kecocokan antara pasangan suami isteri.
Jika ditinjau dari teori konflik, perceraian tersebut terjadi karena seringnya muncul kecurigaan dan rasa tidak percaya pada pasangan, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan. Chaty sering pulang malam, sehingga kemungkinan muncul rasa curiga dari suami dan timbul ketidakpercayaan terhadap alasan yang disampaikan Chaty. Hal ini dapat disebabkan akibat dari kurang optimalnya pola komunikasi yang berlangsung dalam keluarga sebab kurangnya intensitas pasangan bertemu.
Sayangnya, dalam penyelesaian konflik ini Eka sebagai kepala keluarga cenderung menjadi overfunctioner dengan menganggap bahwa perceraian merupakan satu-satunya jalan terbaik. Keputusan tersebut nampaknya tidak mempertimbangkan sudut pandang pihak Chaty, sehingga terdapat disfungsi perannya sebagai seorang istri yang seharusnya memiliki hak dalam pengambilan keputusan dalam keluarga.
Dampak dari konflik ini adalah kondisi psikologis Chaty akibat adanya tekanan yang menimbulkan stress. Keinginan dalam diri Cathy untuk mempertahankan pernikahan sebab adanya anak-anak yang kemudian bergesekan dengan dominasi suami yang menginginkan perceraian membuat Cathy merasa tertekan. Dalam hal ini jelas terlihat adanya pihak yang menjadi ordinat yaitu Eka dan subordinat yaitu Cathy, terlepas dari dugaan-dugaan yang menjadikan sebab perceraian.
Dampak lain yang terjadi adalah kepada kedua anaknya. Hal tersebut karena dengan mengetahui kedua orang tuanya bercerai, maka kondisi emosi anak bisa saja tidak stabil. Rasa cemas terhadap perpisahan, rasa marah kepada kedua orang tua, dan akan ada rasa malu terhadap teman sebayanya.


DAFTAR PUSTAKA
Estuti, W. T. (2013). Dampak perceraian orang tua terhadap tingkat kematangan emosi anak kasus pada 3 siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Pekuncen Banyumas tahun ajaran 2012/2013. Skripsi. Semarang: Universtas Negeri Semarang.
Farrington, K., & Chertok, E. (1993).  Social conflict theories of the family. New York: Plenum.
Klein, D. M., & James M. White. (1996). Family theories- an introduction. London: Sage Publication International Educational and Professional Publisher.
Lestari, S.  (2012). Psikologi keluarga: Penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Puspitawati, H. (2013). Konsep dan teori keluarga. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut Pertaniann Bogor.
Ritzer, G., & Goodman, D. (2003). Teori sosiologi modern. Jakarta: Kencana.
Sanderson, S. (2003). Makro sosiologi: Sebuah pendekatan terhadap realitas sosial (edisi kedua). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sedarmayanti. (2014). Manajemen sumber daya manusia reformasi birokrasi dan manajemen pegawai negeri sipil. Bandung: PT. Refika Aditama.
Simmel, G. (1904). The sociology of conflict. I. American journal of sociology, 9(4):490-525.
Tumengkol, S.M. (2012). Teori sosiologi suatu perspektif tentang teori konflik dalam masyarakat industri. Karya ilmiah. Diakses dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwijgqG9wqPLAhXRcY4KHTTjAA0QFggcMAA&url=http%3A%2F%2Frepo.unsrat.ac.id%2F627%2F1%2FKARYA_ILMIAH_TUMENGKOL6.pdf&usg=AFQjCNErd3mo_QlSXOMkk_dzC5_mkZkurw&sig2=RmnQoc-77oeoX4myV7C5lg.
Turner, J. (1998). The Structure of sociological theory (sixth edition). Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
_________(1975). Marx and simmel revisited: reassessing the foundations of conflict theory. Social forces, 53(4):618-627.
Vagelisti, A. L. (2004). Handbook of family communication. London: Lawrence Erlbaum Associates.
Waluya, B. (2007). Sosiologi: menyelami fenomena sosial di masyarakat. Bandung: PT Setia Purna Inves.
Wardana, A. (2014). Teori konflik 2: non marxis. Handout kuliah. Diakses dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwje8rf7wqPLAhUXc44KHZtNDbMQFggkMAI&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fpendidikan%2FAmika%2520Wardana%2C%2520Ph.D.%2FHandout%2520Kuliah%252006%2520Teori%2520konflik%25202%2520Non%2520Marxist%2520(TSK)%2520(Wardana).pdf&usg=AFQjCNFJGE8oDnAixsr2JSU1MHPjFtRKKg&sig2=VSF9WPBvvpH-YLt0qPjGvw.

No comments:

Post a Comment