12/22/2015

Sepi

Jika pada akhirnya nanti,mbak lebih menyukai duduk berjejer antri untuk sekedar ke kamar mandi,
menunggu giliran mendapatkan sepiring nasi,
atau bergilir jatah piket pagi..
Jika pada akhirnya nanti,
mbak lebih nyaman duduk melingkar menyenandungkan sholawat dengan kawan,
kemudian berebut sesuap nasi dari mayoran,
atau bergembira dalam ro'an tanda kebersamaan..
menanti tanggal khataman kemudian pulang
atau hanya sekedar menunggu jatah kiriman tiap bulan..
Dan, jika pada akhirnya nanti,
mbak lebih memilih duduk disana mendengarkan bandongan, menunggu giliran menyetor hapalan saat sorogan..
Alih-alih duduk mendengar diskusi teori diruang ber-AC demi gelar kebanggaan..
Boleh, Mi?

12/11/2015

Saya....

Selamat datang di blog pribadi saya, tempat anak kecil yang gak mau ngaku kalo udah tua ini bercerita, coret-coret, menuliskan apa yang ada di otaknya..
Sebelumnya saya pernah membuat blog, tapi entah mungkin karena kapasitas memori saya yang lemah, alhasil harus say good bye dengan blog itu. huhuhu... dan taraaaa, terciptalah blog saya ini, awalnya hanya iseng liburan semester lalu, lebaran tepatnya, bosan gak ada kerjaan gara-gara mata enggan memejam (saya jarang bisa tidur malam, huft) akhirnya bikin blog dan semaleman ngabisin kuota modem buat otak-atik ini blog, hahah...
Oke, panggil saya NABILA atau WAWA (itu nama yang entah dari mana, tiba-tiba si bungsu dengan pedenya memanggil saya demikian), berasal dari sebuah desa di perbatasan kabupaten dan kota Kediri. Anak ke-3 dari 6 bersaudara, banyak? ini kurang banyak jika melihat fakta dirumah hanya tinggal Abah, Ibu dan 3 anaknya. Cewek berjilbab yang baru saja merambah dalam dunia feminim saat masuk perguruan tinggi. Sekarang stay di Semarang sambil kuliah.
Ngobrol tentang alasan saya membuat blog, karena sebenarnya saya adalah seorang introvert yang berusaha untuk mengubah diri, namun nyatanya malah gak nyaman. hahah, yaahhh, bagaimanapun saya cinta diri saya :) Saya memiliki cita-cita menjadi seorang penulis, sebenarnya bukan seutuhnya cita-cita saya, tapi dorongan Abah Ibu yang sempet syok gara-gara lihat buku anak ceweknya penuh sama cerita. Hahaha. Saya bukan tipe orang yang suka menulis materi yang disampaikan disekolah, alhasil untuk mengatasi kebosanan, buku-buku pun jadi korban keusilan tangan saya. 
Selain itu, saya yang sejak kecil suka bercerita sendiri -jangan berpikir saya gila-, tapi inilah saya, seolah punya dunia sendiri, bercerita kesana kemari, dengan boneka-boneka yang matanya hilang sebelah (gara-gara masmas ganteng dirumah yang nakut2in itu boneka bakal hidup kalau nggak dicopot matanya, meskipun itu baru), macam penyiar radio yang sering saya dengar atau pembaca berita politik yang tiap malam harus saya tonton.
Mungkin karena emang otak kanan saya yang bekerjanya berlebihan, melebihi otak kiri, jadinya gak bisa diem meskipun sendirian -meskipun introvert bahkan kata ibu kuper dalam pergaulan-, sampai-sampai temen SMA ada yang bilang "Tanganmu ki gak iso anteng, usil ae senengane- tanganmu itu lho gak bisa diem, usil aja", dari coret-coret kertas, buku, bangku sampai tembok kamar.. gunting-gunting kertas yang gak punya dosa, mukul-mukul meja pakai pena bak drummer karbitan, dan entahlah apa yang dikerjakan tangan cantik ku ini.. inghfirlii ya robbyy..
Apapun saya, bagaimanapun saya, I love it...
Dan untuk mereka yang mengenal saya, mungkin sering melihat saya duduk sendiri, dipojokan, nangis sesenggukan, nggak ding... Duduk di pojokan, di lantai empat, diem, cuman lihat sekitar, atau senyum lihat orang-orang tanpa mau ikut bicara, asik baca buku atau gambar sesuatu dikertas A4,, yah, itulah saya.. Nabila yang lebih suka sendiri, meskipun saya juga yakin, saya tetap butuh orang lain, tapi saya, saya memiliki waktu lebih untuk sendiri..

Semarang, 11 Desember 2015

"Mengapa perpisahan selalu terasa menyakitkan?"
"Ada apa?"
"Entahlah, akhir-akhir ini aku terlalu sering mendengar kata perpisahan. Satu persatu dari mereka akhirnya pergi"
"Bukankah itu hukum alam? Ketika ada yang datang, maka akan ada yang pergi"
"Dan sangat menyedihkan ketika hal itu terjadi. Awalnya, aku merasa tak nyaman dengan mereka, kau tau. Tapi, ternyata aku salah, bahkan ketika harus mengucap selamat tinggal, seolah ada yang hilang disini."
"Kau merindukan mereka?"
"Tentu saja, banyak orang yang kurindukan disini. Senyum mereka, kisah mereka, hingga bentakan-bentakan mereka."
"Mereka tentu juga merindukanmu"
"Semoga saja."
"Kau bahkan juga akan meninggalkan yang tersisa disini bukan?"
"Ya. Aku tak ingin membayangkan bagaimana rasanya ketika tubuhku tak lagi berada disini, meninggalkan apa yang sudah melekat dari sini. Bangunan hijau, kamar mandi yang selalu antre, dapur yang tak pernah sepi dari kepulan asap, kamar yang enggan untuk bersih barang sejenak, masjid yang kian menentramkan, sekat pembatas, dan tentu saja, lantai empat dengan dua tower yang menjulang tinggi menusuk langit."
"Nikmati itu semua."
"Ya, waktu kian cepat bergerak."
"Dan nyatanya waktu tak pernah mau membiarkan kita duduk sejenak."
"Kau juga akan meninggalkanku seperti mereka, Kak?"
"Entahlah, aku harap tidak. Tapi, kuharap ketika aku harus pergi, Allah menggantikanku dengan orang yang jauh lebih baik, mau duduk ber jam-jam sekadar mendengarkanmu bercerita, mendengar omelan-omelanmu tentang tumpukan-tumpukan tugas itu."
"Yaaa, aku menyayangimu."
"Aku tau itu kurcaci kecil."

Syukur ujar beliau...

"Bersyukur itu bukan hanya ketika tangan kita mendapatkan, tapi untuk apa rezeki itu kita gunakan, bagaimana cara kita mentasarufkan rezeki tersebut. Termasuk mengucap bismillah ketika mulut kita hendak melahap makanan hasil 'kiriman' bapak ibuk dirumah, bibir kita mengucapkan doa ketika perut kita terisi lezatnya makanan." ujar paruh baya yang pernah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya di bangunan tua Lirboyo itu.
Khususon ila ustadzi wa murobbi, al faatihah...

12/09/2015

(2) 9 Desember 2015..

"Kau masih menyukainya?"
"Siapa? Oh, entahlah. Aku hanya tak pernah bisa marah padanya, meskipun sekedar mengungkapkan kekecewaan. Kenapa?"
"Kau sudah lama tak bercerita tentang dia, Dek."
"Ehm... Bosan, sepertinya banyak hal yang lebih menarik untuk kita bahas, heheh."
"Hahaha, dasar kurcaci kecil. Apa dia sudah tak menghubungimu?"
"Masih, tentu saja. Ku kira aku masih senang, ternyata tidak, kosong, Kak."
"Secepat itukah?"
"Entahlah. Bukankah semua hal bisa berubah seiring berjalannya waktu?"
"Ya, kau benar. Lalu masih berharap tentang dia."
"Sejujurnya, tidak. Aku hanya berharap kau berhenti bicara, Kak!"
"Hahaha. Iya, iya. Sudah, selesaikan tugasmu."
"Kau, mau kemana?"
"Disini, bangunkan aku ketika kau sudah menyelesaikan itu semua. Bosan melihatmu menggerutu karena tugas-tugas itu."
"Ya ya ya ya.. Kenapa kau menyebalkan sekali."
"Hahaha, dan kenapa kau menggemaskan sekali adek kecil."

Semarang, 9 Desember 2015...

"Kenapa banyak orang lebih suka memandang rendah orang lain?"
"Ehm?"
"Ya, mereka sering menganggap orang lain tidak mampu melakukan suatu hal, ketimbang memberikan kesempatan untuk mereka mencoba."
"Lalu, seharusnya bagaimana?"
"Orang akan merasa bosan ketika dia terlalu sering dianggap rendah, patah hati, kemudian malas untuk mencoba, akhirnya, hal menakutkan itu akan terjadi. mereka tidak akan bisa melakukan apa-apa, menutup kemampuan mereka sendiri."
"Lantas?"
"Harusnya mereka diberikan kesempatan, bukankah semua orang berhak untuk mencoba? Ketika mereka bahkan tidak diperbolehkan untuk mencoba, kapan mereka tau bahwa mereka mampu atau tidak."
"Bagaimana jika mereka mencoba, tapi nyatanya memang mereka tidak mampu?"
"Lalu apa gunanya ada nasihat -kegagalan adalah proses menuju kesuksesan- ? Apa hanya untuk quote-quote yang berserakan didinding media sosial?"
"Bukankah mereka sering tidak mau untuk mencoba?"
"Alih-alih mendukung, kita malah sering kali menjudge mereka tidak mampu. Orang tidak mau mencoba karena yang ada diotaknya hanyalah pikiran-pikiran negatif tentang diri mereka sendiri, dan itu juga hasil dari ucapan-ucapan yang sering mereka dengar, Kak."
"Aku sangat benci dengan mereka, Kak. Seolah-olah mereka adalah segalanya, padahal mereka monster yang menutup kemampuan kawan mereka sendiri."
"Tapi kau juga sering melakukannya kan?"
"Aku terpaksa, mereka seperti mayoritas."
"Mengapa kau tidak mengubahnya?"
"Aku ingin, tapi bahkan tak tau caranya. Kadang ketika pikiran dan perilaku kita berbeda, mereka memandang kita aneh."
"Ya, aku tau apa yang kamu rasakan."
"Apakah menjadi berbeda itu salah, Kak?"
"Ya, bisa jadi."
"Lalu kita harus menjadi sama seperti arus, meskipun kita tau itu salah?"
"Bukan begitu, kurcaci kecil. Kau tau, hidup itu hanya lelucon. Kadang kita harus sama, mengalir seperti arus. Tapi, terkadang kita juga harus seperti ikan, melawan arus itu untuk bertahan hidup."
"Lalu?"
"Tetaplah berbeda, dengan cara yang cantik. Tapi kita juga harus sama seperti mereka, karena kita manusia, kita makhluk sosial. Kita harus berbeda ketika arus itu salah, tapi dengan perbedaan itu kita juga harus berusaha mengubah arus itu menjadi benar."

12/08/2015

Semarang, 8 Desember 2015...

"Ikuti aku!"
"Kemana, Kak?"
"Sudah, jalan saja. Katamu hatimu hampa."
"Ya."
"Ini terlalu tinggi, Kak. Kau tau kan, kepalaku bisa pusing diatas sini!"
"Duduklah, aku disampingmu."
"Kau aneh, Kak."
"Aku aneh karena kau, kurcaci kecil"
"Hei, bukankah disini indah?"
"Iya. disini tenang."
"Itulah kau. Kamu hanya butuh sendiri, ketenangan. Lihat kehampaan pada hatimu, hatimu akan bicara"
"Dek, kadang kita terlalu sering berada di keramaian, hingga kita lupa mendengar hati kita. Kadang kita terlalu sering mendengar banyak hal, tapi menutup telinga pada sesuatu yang ingin bicara."
"Aku terlalu takut."
"Aku tau. Menangislah jika kamu ingin menangis, disini terlalu sepi untuk orang-orang melihatmu menangis. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri, setidaknya, disini."
"Angin disini selalu terasa sejuk, diketenangan dzikir mereka terdengar sangat merdu, tak merasakah kau akan hal itu, Dek?"
"Ya, Bahkan pohon-pohon yang tertiup angin itu, laiknya seorang hamba yang menikmati tiap lafadz yang ia ucapkan, memuji keagungan Rabb-Nya."
"Hatimu hanya perlu itu. Kau hanya perlu duduk sendiri dalam ketenangan, tuntun hatimu untuk tetap berdzikir, basahi bibirmu dengan ayat-ayat-Nya. Karena kita manusia, kita butuh untuk sendiri, benar-benar kembali kepada-Nya, jangan penuhi dirimu dengan apa yang terlihat oleh mata."

12/07/2015

Semarang, 7 Desember 2015...

"Kak, aku ingin menjadi diriku yang dulu."
"Ehm, maksudmu?"
"Aku hanya ingin menulis. Ya, aku hanya ingin lebih banyak diam, dan menulis!"
"Tapi, bukahkah kau bilang diam itu menyedihkan?"
"Sampai kemudian aku tau, bahwa bicara jauh lebih menyakitkan daripada diam"
"Ya?"
"Kau tau, bicara bahkan jauh lebih menyakitkan. Mungkin banyak orang yang akan tersakiti karena aku bicara."
"Tapi kau akan menyakiti dirimu sendiri ketika diam."
"Lilin bahkan membiarkan dirinya terbakar agar manusia tetap nyaman meskipun listrik padam. Pensil membiarkan tubuhnya tergerus habis agar manusia bisa menulis. Bahkan, penghapus membiarkan dirinya tergores habis agar manusia bisa menghapus kesalahannya ketika menulis. Lalu, tak bolehkah aku menyakiti diriku agar tak ada orang lain yang tersakiti olehku?"
"Kau menangis?"
"Tidak. Bahkan aku tak sanggup untuk menangis"
"Kau membohongiku. Apa yang terjadi denganmu?"
"Aku mengatakannya dengan jujur."
"Tidak. Kau tak jujur. Katakan!"
"Sudahlah, aku sudah mengatakannya... Pulanglah, ini sangat larut."
"Kau mengusirku sekarang? Aku tidak akan pergi, sebelum kau mengatakannya padaku!"
"Ya, katakan!"
"Aku... a.. a.. aku hanya takut. Aku sangat takut. Kau tau, aku sangat takut sendiri. Aku takut menyakiti orang lain dan membuat mereka pergi dariku. Aku takut disini, aku bahkan sangat takut untuk melakukan apapun disini."