
Suara adzan subuh begitu nyaring terdengar dari masjid,
membangunkan tiap insan muslim yang terlelap dalam mimpinya. Pun isak tangis
pelan muncul dari bilik kecil disebuah rumah.
Salis, tak seperti biasanya dia seperti itu. Mata coklatnya membengkak
akhir-akhir ini. Ya, dua hari yang lalu bundanya meninggal, dan sejak saat itu
dia lebih sering terjaga tengah malam hingga fajar. Untuk menangis? Tidak,
tidak hanya itu alasannya. Ada satu kekecewaan dalam hatinya yang terus
membuatnya merasa berdosa. Satu permintaan bundanya, permintaan yang kecil tapi
tak pernah ia laksanakan. Berjilbab, Ibunda Salis selalu memintanya berjilbab.
Tapi, hingga Allah meminta kembali sang bunda, Salis tak pernah mau mengabulkan
permintaan itu. Sering memang dia mengenakan jilbab, tapi bundanya meminta agar
Salis selalu mengenakan jilbab jika keluar rumah. Mungkin simpel bagi kalian,
tapi tidak bagi Salis. Gadis yang selalu menomor satukan penampilan ini tidak
mau merusak rambut indahnya dengan penutup kepala yang bernama jilbab itu.
“Gerah ma, lagian buat apa Salis capek-capek ke salon kalo akhirnya
rambut Salis ditutup jilbab?” alasan yang sering dia lontarkan ketika Bunda
Nafis menegurnya agar memakai jilbab ketika keluar rumah. Dan kini, itu yang
membuatnya kecewa.
...................................................................
Hari itu merupakan hari pertama Salis masuk kuliah semester 3,
kampusnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Karena setelah Salis dinyatakan
lolos disalah satu perguruan tinggi di Jawa Timur tahun lalu, orang tuanya
memutuskan untuk pindah rumah. Dia adalah putri tunggal di keluarganya,
sehingga ayah dan ibunya enggan untuk membiarkan Salis tinggal diluar kota
sendiri.
“Lis, boleh gak ayah minta satu hal?” tanya ayahnya ketika Salis
keluar kamar.
“Boleh kok yah, tumben banget ayah tanya gitu”
“Anak ayah cantik ya, tapi menurut ayah bakal tambah cantik kalau
Salis pakek jilbab.”
Satu permintaan yang sama akhirnya keluar dari bibis ayahnya,
dengan senyum tipis akhirnya dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Dia masih
ingat betul, dulu bundanya sering membelikan jilbab tapi hingga saat ini
jilbab-jilbab itu hanya tersusun rapi didalam lemari kamarnya.
“Mama, ayah, meskipun Salis belum bisa menerima sepenuh hati tapi
hari ini Salis akan memenuhi permintaan kalian. Salis gak mau mengulangi
kesalahan untuk kedua kali. Salis sayang mama sama ayah.”
Beberapa menit kemudian, Salis telah siap dengan jilbab yang
sepadan dengan kemeja birunya. Meskipun masih dengan celana ketat yang melekat
pas di kakinya, proses. Dia yakin bahwa semua butuh proses, proses dari yang
paling kecil hingga paling besar.
Kuliah pertama dijalaninya dengan lancar, meskipun banyak orang yang
menggoda tentang jilbabnya. Ya, semua orang tau, Salis adalah mahasiswa super
modis, tapi hari itu dia datang dengan jilbabnya. Jilbab yang dulu dia anggap
sebagai barang yang memuakkan.
“Dih Lis, sejak kapan lu pakai kayak ginian?” tanya Mita,
salah satu sahabatnya.
“Hahaha, biasa aja kali Mit. Sejak hari ini lah, tapi kayaknya
bakal selamanya deh, seru sih pakai jilbab.” Canda Salis.
“Tapi gue gerah lihat lu pakai ginian Lis, lagian lu
itu lebih cantik gak pakai jilbab” sahut Ester.
“Kalian ya, temennya mau jadi baik gak ada yang dukung. Gue
pulang dulu deh, kasian ayah dirumah sendirian. Duluan ya!.”
Perubahan memang memiliki dua dampak yang bertolak belakang, dan
Salis sangat mengerti akan hal itu. Dan saat ini, dia merasakan hal itu, ketika
dirinya tergerak untuk berubah menjadi lebih baik, akan ada pro dan kontra.
Tapi, yang tak pernah dia pahami, justru mereka yang dia anggap sahabatlah yang
menolak mentah-mentah perubahan itu.
Ejekan dari sahabat-sahabatnya dia terima setiap hari, bahkan yang
membuatnya sangat kecewa adalah ketika Alvin, kekasihnya memutuskan Salis. Apa alasannya?
Jilbab. Sebuah alasan yang sangat sepele, Alvin tak mau Salis memakain jilbab.
Alasan yang menurut Salis kekanak-kanakan, tetapi dengan berat harus dia
terima.
.....................................................................................
Beberapa bulan setelah perubahan awalnya, Salis sudah terbiasa
dengan sindiran teman-temannya. Dia tak pernah tau mengapa dia bisa begitu kuat
saat itu, tapi yang dia tau sang ayah mendukungnya. Bagi dia, tak perlu orang
lain untuk membuat dia kuat berdiri, ketika ayah masih memegang erat tangannya.
Sejak persahabatannya kandas, Salis lebih memilih berkunjung ke Masjid
Kampus dan perpustakaan. Dan sungguh, Allah tau apa yang lebih dibutuhkan
hamba-Nya. Satu hari ketika Salis duduk di teras Masjid Kampus, seorang gadis
kecil berjilbab menghampirinya dan memberikan selebaran. Dalam lembar kecil
itu, tertuliskan bahwa salah satu Sie Kerohanian Islam di kampusnya mengadakan
sebuah seminar kemuslimahan. Dan entah dorongan dari mana, sesaat setelah
membaca selebaran itu, dia langsung mendaftarkan diri sebagai peserta. Seminar
kemuslimahan, mungkin jika yang membaca selebaran itu adalah Salis tanpa
jilbab, selebaran itu hanya akan menghiasi tong sampah sebelum dia selesai
membaca.
Dari selebaran itu, dari seminar kemuslimahan itu, Salis meneteskan
air mata, hatinya seperti terhujam batu ketika pembicara menjelaskan betapa adzab
Allah sangat mengerikan untuk perempuan yang tak mau menutup rambutnya dengan
jilbab. Betapa Allah memurkai perempuan yang tau mau menggunakan jilbab pada
kepalanya.
Malamnya, Salis masih sangat terbayang dengan apa yang telah
dipaparkan oleh pembicara seminar yang diikutinya. Kembali air mata menetes
dari kedua matanya, kakinya tergerak menuju meja rias. Matanya menatap wajah
yang dipantulkan cermin, membayangkan bagaimana jika dia yang mendapatkan adzab
itu. Sungguh jika boleh berteriak, dia ingin menangis sekencang-kencangnya saat
itu. Menangisi dosa-dosa yang dia lakukan selama perjalanan hidupnya. Menangisi
betapa dia sangat berdosa karena menolak keinginan bundanya, padahal itu demi
kebaikan dia.
Salis merasa kosong, jiwanya sangat sepi, dia bahkan tak tau harus
berbuat apa untuk menghapus dosa-dosanya. Hingga ia teringat nasihat bundanya,
bahwa ketika keresahan menelisik dalam hati, sepatutnya manusia lebih
mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta. Meskipun dengan lemah, dia berusaha
bangkit, diambilnya air wudhu, sholat tentu akan mampu membuat hatinya tenang,
meski dia sadar, dirinya sangat hina. Hingga tak terasa dia terlelap dalam
kedamaian sujudnya.
Salis bertemu bunda, beliau memberikan jilbab warna pink
padanya. Menurut bundanya, Salis akan bertemu bunda disurga jika dia mau
memakai jilbab itu. Mimpi, ya Salis bermimpi. Sejenak dia teringat tentang
jilbab itu, bundanya pernah memberikan jilbab itu pada Salis untuk kado ulang
tahunnya ke-17.
.........................................................................
Wanita setengah baya itu terlihat cantik dengan gamis warna coklat
dan jilbab lebar warna yang sepadan. Senyum dibibirnya, dan tatapan sendu
matanya membuat siapa saja akan tau betapa dia seorang wanita yang lembut dan
penyayang. Wanita itu adalah Bunda Nafis, foto itu masih terpajang didalam
kamar Salis. Mata Salis menelusuri tiap inci dari foto itu, mengagumi sosok
bundanya yang sekarang telah bahagia.
“Ma, pantas ayah sangat mencintai mama. Mama cantik, anggun,
lembut, penyayang, apalagi berjilbab. Salis malu, masak mamanya berjilbab tapi
Salis kayak gini. Mama, makasih sudah ajarkan Salis tentang kehidupan. Mama
benar, memang sudah waktunya Salis memakai jilbab, meskipun sebenarnya sudah
terlambat. Tapi mama pernah bilang kan, lebih baik kita terlambat berbuat
kebaikan daripada kita tidak berbuat kebaikan sama sekali. Salis sekarang
mantap berjilbab ma, meskipun kemarin masih asal-asalan, mulai sekarang Salis
akan belajar bagaimana berjilbab dengan benar. Salis sayang mama.”
Senyumnya terukir manis dari bibir tipisnya, lesung pipit turut
menghiasi wajahnya. Gadis itu masih duduk dengan tenang disalah satu meja
disebuah rumah makan, menunggu menu pesanannya datang. Cantik, dengan rok biru
tua dan kemeja warna pink serta jilbab lebar warna serupa memperlengkap
kecantikan gadis itu.
Dia adalah Salis, Rahmanita Salisa, gadis yang dulu tak berjilbab
bahkan membenci jilbab, saat ini terlihat anggun dengan jilbab yang menutupi
kepalanya. Dialah gadis itu yang menolak permintaan ibundanya
untuk berjilbab, gadis yang merelakan persahabatan dan kekasihnya demi jilbab,
dia yang mengalami guncangan hebat karena seminar tentang jilbab dan gadis
itulah yang saat ini bahagia dengan jilbab. Itulah Salis yang mengalami perubahan
besar dalam hidupnya.
“Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih
adalah wanita yang tidak mau menutupi rambutnya dari pandangan laki-laki yang
bukan mahram.” (Al-hadits)
(cerpen ini pernah diikutsertakan dan memenangkan lomba True Story VI-Day GAMAIS FKM Undip pada oktober 2014, diposting ulang dengan sedikit perubahan)