12/22/2015

Sepi

Jika pada akhirnya nanti,mbak lebih menyukai duduk berjejer antri untuk sekedar ke kamar mandi,
menunggu giliran mendapatkan sepiring nasi,
atau bergilir jatah piket pagi..
Jika pada akhirnya nanti,
mbak lebih nyaman duduk melingkar menyenandungkan sholawat dengan kawan,
kemudian berebut sesuap nasi dari mayoran,
atau bergembira dalam ro'an tanda kebersamaan..
menanti tanggal khataman kemudian pulang
atau hanya sekedar menunggu jatah kiriman tiap bulan..
Dan, jika pada akhirnya nanti,
mbak lebih memilih duduk disana mendengarkan bandongan, menunggu giliran menyetor hapalan saat sorogan..
Alih-alih duduk mendengar diskusi teori diruang ber-AC demi gelar kebanggaan..
Boleh, Mi?

12/11/2015

Saya....

Selamat datang di blog pribadi saya, tempat anak kecil yang gak mau ngaku kalo udah tua ini bercerita, coret-coret, menuliskan apa yang ada di otaknya..
Sebelumnya saya pernah membuat blog, tapi entah mungkin karena kapasitas memori saya yang lemah, alhasil harus say good bye dengan blog itu. huhuhu... dan taraaaa, terciptalah blog saya ini, awalnya hanya iseng liburan semester lalu, lebaran tepatnya, bosan gak ada kerjaan gara-gara mata enggan memejam (saya jarang bisa tidur malam, huft) akhirnya bikin blog dan semaleman ngabisin kuota modem buat otak-atik ini blog, hahah...
Oke, panggil saya NABILA atau WAWA (itu nama yang entah dari mana, tiba-tiba si bungsu dengan pedenya memanggil saya demikian), berasal dari sebuah desa di perbatasan kabupaten dan kota Kediri. Anak ke-3 dari 6 bersaudara, banyak? ini kurang banyak jika melihat fakta dirumah hanya tinggal Abah, Ibu dan 3 anaknya. Cewek berjilbab yang baru saja merambah dalam dunia feminim saat masuk perguruan tinggi. Sekarang stay di Semarang sambil kuliah.
Ngobrol tentang alasan saya membuat blog, karena sebenarnya saya adalah seorang introvert yang berusaha untuk mengubah diri, namun nyatanya malah gak nyaman. hahah, yaahhh, bagaimanapun saya cinta diri saya :) Saya memiliki cita-cita menjadi seorang penulis, sebenarnya bukan seutuhnya cita-cita saya, tapi dorongan Abah Ibu yang sempet syok gara-gara lihat buku anak ceweknya penuh sama cerita. Hahaha. Saya bukan tipe orang yang suka menulis materi yang disampaikan disekolah, alhasil untuk mengatasi kebosanan, buku-buku pun jadi korban keusilan tangan saya. 
Selain itu, saya yang sejak kecil suka bercerita sendiri -jangan berpikir saya gila-, tapi inilah saya, seolah punya dunia sendiri, bercerita kesana kemari, dengan boneka-boneka yang matanya hilang sebelah (gara-gara masmas ganteng dirumah yang nakut2in itu boneka bakal hidup kalau nggak dicopot matanya, meskipun itu baru), macam penyiar radio yang sering saya dengar atau pembaca berita politik yang tiap malam harus saya tonton.
Mungkin karena emang otak kanan saya yang bekerjanya berlebihan, melebihi otak kiri, jadinya gak bisa diem meskipun sendirian -meskipun introvert bahkan kata ibu kuper dalam pergaulan-, sampai-sampai temen SMA ada yang bilang "Tanganmu ki gak iso anteng, usil ae senengane- tanganmu itu lho gak bisa diem, usil aja", dari coret-coret kertas, buku, bangku sampai tembok kamar.. gunting-gunting kertas yang gak punya dosa, mukul-mukul meja pakai pena bak drummer karbitan, dan entahlah apa yang dikerjakan tangan cantik ku ini.. inghfirlii ya robbyy..
Apapun saya, bagaimanapun saya, I love it...
Dan untuk mereka yang mengenal saya, mungkin sering melihat saya duduk sendiri, dipojokan, nangis sesenggukan, nggak ding... Duduk di pojokan, di lantai empat, diem, cuman lihat sekitar, atau senyum lihat orang-orang tanpa mau ikut bicara, asik baca buku atau gambar sesuatu dikertas A4,, yah, itulah saya.. Nabila yang lebih suka sendiri, meskipun saya juga yakin, saya tetap butuh orang lain, tapi saya, saya memiliki waktu lebih untuk sendiri..

Semarang, 11 Desember 2015

"Mengapa perpisahan selalu terasa menyakitkan?"
"Ada apa?"
"Entahlah, akhir-akhir ini aku terlalu sering mendengar kata perpisahan. Satu persatu dari mereka akhirnya pergi"
"Bukankah itu hukum alam? Ketika ada yang datang, maka akan ada yang pergi"
"Dan sangat menyedihkan ketika hal itu terjadi. Awalnya, aku merasa tak nyaman dengan mereka, kau tau. Tapi, ternyata aku salah, bahkan ketika harus mengucap selamat tinggal, seolah ada yang hilang disini."
"Kau merindukan mereka?"
"Tentu saja, banyak orang yang kurindukan disini. Senyum mereka, kisah mereka, hingga bentakan-bentakan mereka."
"Mereka tentu juga merindukanmu"
"Semoga saja."
"Kau bahkan juga akan meninggalkan yang tersisa disini bukan?"
"Ya. Aku tak ingin membayangkan bagaimana rasanya ketika tubuhku tak lagi berada disini, meninggalkan apa yang sudah melekat dari sini. Bangunan hijau, kamar mandi yang selalu antre, dapur yang tak pernah sepi dari kepulan asap, kamar yang enggan untuk bersih barang sejenak, masjid yang kian menentramkan, sekat pembatas, dan tentu saja, lantai empat dengan dua tower yang menjulang tinggi menusuk langit."
"Nikmati itu semua."
"Ya, waktu kian cepat bergerak."
"Dan nyatanya waktu tak pernah mau membiarkan kita duduk sejenak."
"Kau juga akan meninggalkanku seperti mereka, Kak?"
"Entahlah, aku harap tidak. Tapi, kuharap ketika aku harus pergi, Allah menggantikanku dengan orang yang jauh lebih baik, mau duduk ber jam-jam sekadar mendengarkanmu bercerita, mendengar omelan-omelanmu tentang tumpukan-tumpukan tugas itu."
"Yaaa, aku menyayangimu."
"Aku tau itu kurcaci kecil."

Syukur ujar beliau...

"Bersyukur itu bukan hanya ketika tangan kita mendapatkan, tapi untuk apa rezeki itu kita gunakan, bagaimana cara kita mentasarufkan rezeki tersebut. Termasuk mengucap bismillah ketika mulut kita hendak melahap makanan hasil 'kiriman' bapak ibuk dirumah, bibir kita mengucapkan doa ketika perut kita terisi lezatnya makanan." ujar paruh baya yang pernah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya di bangunan tua Lirboyo itu.
Khususon ila ustadzi wa murobbi, al faatihah...

12/09/2015

(2) 9 Desember 2015..

"Kau masih menyukainya?"
"Siapa? Oh, entahlah. Aku hanya tak pernah bisa marah padanya, meskipun sekedar mengungkapkan kekecewaan. Kenapa?"
"Kau sudah lama tak bercerita tentang dia, Dek."
"Ehm... Bosan, sepertinya banyak hal yang lebih menarik untuk kita bahas, heheh."
"Hahaha, dasar kurcaci kecil. Apa dia sudah tak menghubungimu?"
"Masih, tentu saja. Ku kira aku masih senang, ternyata tidak, kosong, Kak."
"Secepat itukah?"
"Entahlah. Bukankah semua hal bisa berubah seiring berjalannya waktu?"
"Ya, kau benar. Lalu masih berharap tentang dia."
"Sejujurnya, tidak. Aku hanya berharap kau berhenti bicara, Kak!"
"Hahaha. Iya, iya. Sudah, selesaikan tugasmu."
"Kau, mau kemana?"
"Disini, bangunkan aku ketika kau sudah menyelesaikan itu semua. Bosan melihatmu menggerutu karena tugas-tugas itu."
"Ya ya ya ya.. Kenapa kau menyebalkan sekali."
"Hahaha, dan kenapa kau menggemaskan sekali adek kecil."

Semarang, 9 Desember 2015...

"Kenapa banyak orang lebih suka memandang rendah orang lain?"
"Ehm?"
"Ya, mereka sering menganggap orang lain tidak mampu melakukan suatu hal, ketimbang memberikan kesempatan untuk mereka mencoba."
"Lalu, seharusnya bagaimana?"
"Orang akan merasa bosan ketika dia terlalu sering dianggap rendah, patah hati, kemudian malas untuk mencoba, akhirnya, hal menakutkan itu akan terjadi. mereka tidak akan bisa melakukan apa-apa, menutup kemampuan mereka sendiri."
"Lantas?"
"Harusnya mereka diberikan kesempatan, bukankah semua orang berhak untuk mencoba? Ketika mereka bahkan tidak diperbolehkan untuk mencoba, kapan mereka tau bahwa mereka mampu atau tidak."
"Bagaimana jika mereka mencoba, tapi nyatanya memang mereka tidak mampu?"
"Lalu apa gunanya ada nasihat -kegagalan adalah proses menuju kesuksesan- ? Apa hanya untuk quote-quote yang berserakan didinding media sosial?"
"Bukankah mereka sering tidak mau untuk mencoba?"
"Alih-alih mendukung, kita malah sering kali menjudge mereka tidak mampu. Orang tidak mau mencoba karena yang ada diotaknya hanyalah pikiran-pikiran negatif tentang diri mereka sendiri, dan itu juga hasil dari ucapan-ucapan yang sering mereka dengar, Kak."
"Aku sangat benci dengan mereka, Kak. Seolah-olah mereka adalah segalanya, padahal mereka monster yang menutup kemampuan kawan mereka sendiri."
"Tapi kau juga sering melakukannya kan?"
"Aku terpaksa, mereka seperti mayoritas."
"Mengapa kau tidak mengubahnya?"
"Aku ingin, tapi bahkan tak tau caranya. Kadang ketika pikiran dan perilaku kita berbeda, mereka memandang kita aneh."
"Ya, aku tau apa yang kamu rasakan."
"Apakah menjadi berbeda itu salah, Kak?"
"Ya, bisa jadi."
"Lalu kita harus menjadi sama seperti arus, meskipun kita tau itu salah?"
"Bukan begitu, kurcaci kecil. Kau tau, hidup itu hanya lelucon. Kadang kita harus sama, mengalir seperti arus. Tapi, terkadang kita juga harus seperti ikan, melawan arus itu untuk bertahan hidup."
"Lalu?"
"Tetaplah berbeda, dengan cara yang cantik. Tapi kita juga harus sama seperti mereka, karena kita manusia, kita makhluk sosial. Kita harus berbeda ketika arus itu salah, tapi dengan perbedaan itu kita juga harus berusaha mengubah arus itu menjadi benar."

12/08/2015

Semarang, 8 Desember 2015...

"Ikuti aku!"
"Kemana, Kak?"
"Sudah, jalan saja. Katamu hatimu hampa."
"Ya."
"Ini terlalu tinggi, Kak. Kau tau kan, kepalaku bisa pusing diatas sini!"
"Duduklah, aku disampingmu."
"Kau aneh, Kak."
"Aku aneh karena kau, kurcaci kecil"
"Hei, bukankah disini indah?"
"Iya. disini tenang."
"Itulah kau. Kamu hanya butuh sendiri, ketenangan. Lihat kehampaan pada hatimu, hatimu akan bicara"
"Dek, kadang kita terlalu sering berada di keramaian, hingga kita lupa mendengar hati kita. Kadang kita terlalu sering mendengar banyak hal, tapi menutup telinga pada sesuatu yang ingin bicara."
"Aku terlalu takut."
"Aku tau. Menangislah jika kamu ingin menangis, disini terlalu sepi untuk orang-orang melihatmu menangis. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri, setidaknya, disini."
"Angin disini selalu terasa sejuk, diketenangan dzikir mereka terdengar sangat merdu, tak merasakah kau akan hal itu, Dek?"
"Ya, Bahkan pohon-pohon yang tertiup angin itu, laiknya seorang hamba yang menikmati tiap lafadz yang ia ucapkan, memuji keagungan Rabb-Nya."
"Hatimu hanya perlu itu. Kau hanya perlu duduk sendiri dalam ketenangan, tuntun hatimu untuk tetap berdzikir, basahi bibirmu dengan ayat-ayat-Nya. Karena kita manusia, kita butuh untuk sendiri, benar-benar kembali kepada-Nya, jangan penuhi dirimu dengan apa yang terlihat oleh mata."

12/07/2015

Semarang, 7 Desember 2015...

"Kak, aku ingin menjadi diriku yang dulu."
"Ehm, maksudmu?"
"Aku hanya ingin menulis. Ya, aku hanya ingin lebih banyak diam, dan menulis!"
"Tapi, bukahkah kau bilang diam itu menyedihkan?"
"Sampai kemudian aku tau, bahwa bicara jauh lebih menyakitkan daripada diam"
"Ya?"
"Kau tau, bicara bahkan jauh lebih menyakitkan. Mungkin banyak orang yang akan tersakiti karena aku bicara."
"Tapi kau akan menyakiti dirimu sendiri ketika diam."
"Lilin bahkan membiarkan dirinya terbakar agar manusia tetap nyaman meskipun listrik padam. Pensil membiarkan tubuhnya tergerus habis agar manusia bisa menulis. Bahkan, penghapus membiarkan dirinya tergores habis agar manusia bisa menghapus kesalahannya ketika menulis. Lalu, tak bolehkah aku menyakiti diriku agar tak ada orang lain yang tersakiti olehku?"
"Kau menangis?"
"Tidak. Bahkan aku tak sanggup untuk menangis"
"Kau membohongiku. Apa yang terjadi denganmu?"
"Aku mengatakannya dengan jujur."
"Tidak. Kau tak jujur. Katakan!"
"Sudahlah, aku sudah mengatakannya... Pulanglah, ini sangat larut."
"Kau mengusirku sekarang? Aku tidak akan pergi, sebelum kau mengatakannya padaku!"
"Ya, katakan!"
"Aku... a.. a.. aku hanya takut. Aku sangat takut. Kau tau, aku sangat takut sendiri. Aku takut menyakiti orang lain dan membuat mereka pergi dariku. Aku takut disini, aku bahkan sangat takut untuk melakukan apapun disini."

11/30/2015

Untuk Satu Tahun bersama kalian, Keluarga

Berapa banyak yang telah mengaku sebagai teman, tapi dengan mudah meninggalkan?
Berapa banyak yang mengaku sahabat? tapi tega menusuk dari belakang.
Terimakasih untuk satu tahun dari kalian, bukan, bahkan hampir dua tahun.
Tenaga, pikiran bahkan waktu yang kalian berikan...
Pelajaran berharga yang kalian tularkan..
Uluran tangan bahu membahu untuk saling menguatkan..
Sama-sama belajar, saling mengingatkan, saling melengkapi. Bukankah manis keluarga kita?

jika satu tahun bagi manusia adalah masa untuk merangkak dan mencoba berdiri, semoga kita merangkak untuk kebaikan..
jika satu tahun bagi manusia adalah masa untuk belajar berbicara, semoga tutur halus kita berbicara penuh makna dan kebaikan..
Ini adalah potret sebagian kecil dari keluarga kita heart emotikon
Barokallah, kalian adalah kado terindah dari Allah untuk perjalanan di tanah rantau ini smile emotikon
Kang dan mbak Kmnu Undip
Foto Nabila Dina Azkiya.

10/25/2015

quote

"Biarkan nafsu tetap menjadi nafsu, tugas kita sebagai manusia, hanya mengendalikannya"-Gus Muhammad, PP. SBS DRS-

Kopi


Ah, hidup
Nyatanya kau seperti secangkir kopi didepanku

Yang mengepulkan asap dari pekatnya air yang terasa pahit
Ah, hidup
Katanya, memperjuangkanmu terasa sulit..
Sesulit memperjuangkan secangkir kopi
Menunggu lebih sabar untuk mendapatkan kepulan asap dari air mendidih
Kata ayah, itu membuat secangkir pahit menjadi lebih nikmat
Entahlah..

Ah, hidup
Kata mereka kau begitu rumit
Serumit racikan kopi
Jika kutambahkan lebih banyak kopi, maka pahit yang kudapat
Namun jika kuberikan lebih banyak kristal gula, maka terlalu manis yang kurasa
Rumit jika kita tak tau apa yang tepat untuk dilakukan..
Ah, hidup
Kata mereka hidup tak ada gunanya
Seperti secangkir kopi yang kata mereka hanya pahit yang ada
Bukankah menikmati kopi berarti menyesap lembutnya kemanisan dalam pahit?
Menikmatimu sama halnya menyesap makna dalam kepahitan yang kau bawa..
Memperjuangkanmu berarti membalik tabir hitam menjadi putih
Sama halnya menyelinap dari pekatnya hitam kopi pada terangnya rasa nikmat
Ah, hidup
Semanis-manisnya kopi, tak akan pernah lari dari rasa pahit
Pun sepahit-pahitnya kopi, tak akan pernah meninggalkan manis
Maka seterang-terangnya hidup, tak akan jauh dari gelap
dan segelap-gelapnya kehidupan, tak akan pernah melupakan keindahan..
Ah, hidup
Biarkan aku tetap merabamu
Seperti kopi yang tetap mengizinkanku menyesapnya
Merasakan manis dalam kepahitannya..
Mengingatkanku bahwa kehidupan adalah kepahitan yang harus kuperjuangkan....



dari santri putri darussalam
Al Faqir yang terus mencari makna dalam langkah hidupnya



8/15/2015

Hei anak kecil, hidup adalah tentang perjuangan

Salah satu screenshots yang tersisa dari benda kecil yang dielu-elukan sebagai ponsel pintar itu. Banyak sekali sebenarnya screenshots berisi pelajaran penting yang kunilai itu sebagai dua tindakan yang berseberangan, bodoh dan cerdas tepat.

Aku bodoh, tentu saja, dengan menyimpannya mungkin akan menjadi sulit untuk melupakan orang itu. atau mungkin ada yang menganggap gadis itu masih mempertahankan perasaannya, berharap semuanya menjadi nyata. Oh tidak tidak, aku tidak akan banyak berharap, pun menanti semua harapku menjadi nyata. Meskipun tentu saja, mendoakan adalah hal yang kurasa lebih baik untuk kulakukan, semoga yang terbaik selalu bersama 'kita'.

Cerdas tepat, karena dengan menyimpan puluhan screenshots itu setidaknya aku akan tetap diingatkan tentang perjuangan, menampar diri sendiri saat merasa jatuh karena satu kegagalan. Jika beberapa waktu yang lalu masih ada yang dengan getolnya memarahiku saat menangis, memperburuk suasana hati dengan ucapan menyebalkannya, meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja (ya, hanya akan buruk diawal, tapi ketika kita bisa menyikapinya dengan bijak, semua akan kembali normal), puluhan kali mengatakan bahwa hidup adalah perjuangan, serta memelukku mendoakanku setiap selesai sholatnya. Tapi untuk saat ini, aku tak akan banyak berharap dengan pesan-pesan singkat yang memenuhi handphoneku, meskipun sekedar menyapa tentu saja.

hahah, apapun itu, aku bersyukur dipertemukan dengan orang itu, anda, ya tentu saja anda, aku bocah cilikmu kang... Sudahlah, tak penting membahas tentang kita itu semua.

Screenshots ini atau lebih tepatnya catatan kecil ini kubuat beberapa minggu yang lalu, awal bulan Agustus yang manis di sebuah pondok pesantren di Jombang. Tepatnya sebelum melonjorkan badan setelah seharian lelah dengan aktivitas yang menyenangkan tentu saja, mencari orang yang bersedia menampung mempersilahkan kami (saya tidak sendiri kala itu) untuk tidur di rumahnya. Dan akhirnya, seseorang membawa kami ketempat itu.

Catatan itu dibuat atas renungan berjam-jam (fisik lelah ternyata tak terlalu sinkron dengan mata dan otak saya yang enggak menutup hari dengan tidur sejenak) tentang beberapa masalah kejadian yang saya alami beberapa bulan ini..
Terakhir.....
"Mental tidak terbentuk dari ribuan materi yang dia dapat di bangku kuliah, duduk manis mendengarkan ceramah yang sesekali disambut dengan rasa kantuk. Tapi mental terbentu saat ia dihadapkan pada satu masalah, masalah dan masalah, ketika dia mampu bertahan, berdiri tegak meskipun ribuan orang melecehkan, tetap tersenyum meski hati tersayat, dan tetap memiliki ribuan tekad dan keyakinan meskipun banyak orang yang berusaha menjatuhkan"-Nabilah

ditulis dari pojok gubuk kecil kehidupan,
kediri, 15 Agustus 2015

8/14/2015

Kuanggap ini bukan apa-apa


Detik mempertemukan kita..
Merajut sapa dalam menit, aku mengenalmu bahkan detail terkecil darimu…
Dan waktu pun menjadi saksi, atas rangkaian rasa yang mengalir dalam raga…
Merangkul kasih dalam tiap untaian doa…
Berharap aku dan kamu akan menjadi kita…
Bintang tak akan meninggalkan langit…
Laut tak akan jauh dari pantai…
Pelangi tak akan berhenti tersenyum untuk hujan…
Pun siang tak akan bosan mendampingi malam…
Tapi nyatanya,
Kau bukan bintang yang tetap berada dilangitku…
Engkau bukan laut yang tak akan pergi jauh dari hamparan luas pandanganku…
Pun kau bukan pelangi yang terus tersenyum untukku…
Juga nyatanya kau bukan siang yang akan selamanya disisiku…
Engkau pergi,
Terbang bebas menghampiri langitmu…
Mencari titik dari pantaimu, menunggu hujanmu dan menghiasi malammu…
Sedangkan aku?
Aku akan tetap tersenyum disini…
Memandangmu dari jauh, tetap berdiri tegak disini…
Hingga nanti seseorang merangkulku untuk pergi…
Cahayaku, aku menyayangimu…

8/12/2015

Bangunlah, Maka Akan Terwujud.

Sebenarnya hanya rangkaian kata sepele, yang ditulis oleh Leonard H. Hoyle dalam bukunya yang berjudul Event Marketing. Tapi jika kita mau memahami maknanya, mungkin bisa jadi kalimat itu akan menjadi tamparan keras bagi kita. Eitss... Kita? Yaaa, kita, orang-orang yang senang bermimpi. Mengkhayal kehidupan bahagia dengan kemewahan atau apapun itu yang sering membayangi angan-angan kita.
Oke, karena sesungguhnya tulisan ini hanya hasil musahabah diri saya setelah membaca salah satu buku dari sekian tumpuk buku milik saudara saya kemarin malam. Salah satu tulisan Hoyle yang kemudian menyadarkan saya, bahwa sebenarnya diri ini telah lama tertidur. Atau bahkan sudah bangun tapi berlari dari diri saya sesungguhnya.
Seperti kebanyakan orang atau bahkan semua manusia, saya mempunyai mimpi, tentu saja. Menjadi seorang penulis sekaliber Habiburrahman El-Syirazi, menjadi seorang hafidzah seperti yang diminta ibu saya sekaligus menjadi penerus mbah putri, atau guru besar di universitas di Indonesia, tiga impian saya dari ribuan impian yang sebenarnya ingin saya capai. Lalu apa hubungannya dengan tulisan Hoyle diatas? Ya, Hoyle telah menampar keras pipi saya dengan kalimatnya. Dia menyadarkan saya bahwa mungkin waktu saya hanya akan habis dengan tertidur dalam impian-impian saya.
Bangunlah nabila, dari tidur panjang yang melenakanmu dari apa yang telah kamu rangkai sejak kecil diselembar kertas itu. Jangan hanya bermimpi dan berangan-angan. Karena sesungguhnya mimpi-mimpi itu hanya akan terwujud jika kamu mau bangun dan mulai berjalan sedikit demi sedikit untuk mencapainya. Ingatkah apa yang ditulis Epictetus dalam bukunya? Bahwa "Tidak ada sesuatu yang hebat yang tercipta secara tiba-tiba". Cita-citamu hebat? Ya tentu saja. Tidak ada satupun cita-cita seorang insan yang tidak hebat. Hanya, itu tidak akan menjadi hebat jika kamu terus bermimpi tanpa mau menjadikan mimpi itu nyata.
Maka, Jangan pernah berani bermimpi jika kamu tidak mau bangun dari mimpimu. Karena apa? Karena ketika kamu hanya berani bermimpi, tanpa mau menjadikan itu nyata, kamu hanya akan menjadi pecundang ketika semua orang di sekitarmu sukses dengan karyanya. Kamu hanya akan sibuk menilai orang lain, tapi kamu lupa bahwa kamu punya kehidupan. Ingat kata-kata Kang Shobah, "Nabila terlahir untuk menjadi seorang PEJUANG, bukan seorang PEMIMPI."
"Maka bermimpilah, jika kamu memang berani untuk memperjuangkan mimpimu menjadi nyata"-Nabila,


Kediri, 12 Agustus 2015

Menoreh rasa dalam doa...



Dan hingga saat ini
Bersua denganmu hanyalah menjadi mimpi
Tapi, meski raga tak mampu bersama
Suara lembutmu tak dapat kudengar
Cahaya matamu yang meneduhkan tak lagi ada
Maka bolehkah aku terus mengenangmu?
Lewat senyum yang dulu kau lukiskan tatkala mata beradu
Langkah pelan tapi pasti dari dua kaki tegapmu
Dan lewat tutur lembutmu ketika bersenandung dalam sholawat
Aku merindukanmu, sungguh
Mungkin ucap ini tak akan kau dengar
Tapi lewat doaku, aku merindukanmu
Bukan kunamakan ini sebagai cinta, Gus
Hanya, bolehkah aku menikmati titipan Allah lewat rasa ini?


Semarang, 2 Desember 2014

Dan Pada Akhirnya Aku Tau, Jilbabku Adalah Nyawaku


Suara adzan subuh begitu nyaring terdengar dari masjid, membangunkan tiap insan muslim yang terlelap dalam mimpinya. Pun isak tangis pelan muncul dari bilik kecil disebuah rumah.  Salis, tak seperti biasanya dia seperti itu. Mata coklatnya membengkak akhir-akhir ini. Ya, dua hari yang lalu bundanya meninggal, dan sejak saat itu dia lebih sering terjaga tengah malam hingga fajar. Untuk menangis? Tidak, tidak hanya itu alasannya. Ada satu kekecewaan dalam hatinya yang terus membuatnya merasa berdosa. Satu permintaan bundanya, permintaan yang kecil tapi tak pernah ia laksanakan. Berjilbab, Ibunda Salis selalu memintanya berjilbab. Tapi, hingga Allah meminta kembali sang bunda, Salis tak pernah mau mengabulkan permintaan itu. Sering memang dia mengenakan jilbab, tapi bundanya meminta agar Salis selalu mengenakan jilbab jika keluar rumah. Mungkin simpel bagi kalian, tapi tidak bagi Salis. Gadis yang selalu menomor satukan penampilan ini tidak mau merusak rambut indahnya dengan penutup kepala yang bernama jilbab itu.
“Gerah ma, lagian buat apa Salis capek-capek ke salon kalo akhirnya rambut Salis ditutup jilbab?” alasan yang sering dia lontarkan ketika Bunda Nafis menegurnya agar memakai jilbab ketika keluar rumah. Dan kini, itu yang membuatnya kecewa.
...................................................................
Hari itu merupakan hari pertama Salis masuk kuliah semester 3, kampusnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Karena setelah Salis dinyatakan lolos disalah satu perguruan tinggi di Jawa Timur tahun lalu, orang tuanya memutuskan untuk pindah rumah. Dia adalah putri tunggal di keluarganya, sehingga ayah dan ibunya enggan untuk membiarkan Salis tinggal diluar kota sendiri.
“Lis, boleh gak ayah minta satu hal?” tanya ayahnya ketika Salis keluar kamar.
“Boleh kok yah, tumben banget ayah tanya gitu”
“Anak ayah cantik ya, tapi menurut ayah bakal tambah cantik kalau Salis pakek jilbab.”
Satu permintaan yang sama akhirnya keluar dari bibis ayahnya, dengan senyum tipis akhirnya dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Dia masih ingat betul, dulu bundanya sering membelikan jilbab tapi hingga saat ini jilbab-jilbab itu hanya tersusun rapi didalam lemari kamarnya.
“Mama, ayah, meskipun Salis belum bisa menerima sepenuh hati tapi hari ini Salis akan memenuhi permintaan kalian. Salis gak mau mengulangi kesalahan untuk kedua kali. Salis sayang mama sama ayah.”
Beberapa menit kemudian, Salis telah siap dengan jilbab yang sepadan dengan kemeja birunya. Meskipun masih dengan celana ketat yang melekat pas di kakinya, proses. Dia yakin bahwa semua butuh proses, proses dari yang paling kecil hingga paling besar.
Kuliah pertama dijalaninya dengan lancar, meskipun banyak orang yang menggoda tentang jilbabnya. Ya, semua orang tau, Salis adalah mahasiswa super modis, tapi hari itu dia datang dengan jilbabnya. Jilbab yang dulu dia anggap sebagai barang yang memuakkan.
“Dih Lis, sejak kapan lu pakai kayak ginian?” tanya Mita, salah satu sahabatnya.
“Hahaha, biasa aja kali Mit. Sejak hari ini lah, tapi kayaknya bakal selamanya deh, seru sih pakai jilbab.” Canda Salis.
“Tapi gue gerah lihat lu pakai ginian Lis, lagian lu itu lebih cantik gak pakai jilbab” sahut Ester.
“Kalian ya, temennya mau jadi baik gak ada yang dukung. Gue pulang dulu deh, kasian ayah dirumah sendirian. Duluan ya!.”
Perubahan memang memiliki dua dampak yang bertolak belakang, dan Salis sangat mengerti akan hal itu. Dan saat ini, dia merasakan hal itu, ketika dirinya tergerak untuk berubah menjadi lebih baik, akan ada pro dan kontra. Tapi, yang tak pernah dia pahami, justru mereka yang dia anggap sahabatlah yang menolak mentah-mentah perubahan itu.
Ejekan dari sahabat-sahabatnya dia terima setiap hari, bahkan yang membuatnya sangat kecewa adalah ketika Alvin, kekasihnya memutuskan Salis. Apa alasannya? Jilbab. Sebuah alasan yang sangat sepele, Alvin tak mau Salis memakain jilbab. Alasan yang menurut Salis kekanak-kanakan, tetapi dengan berat harus dia terima.
.....................................................................................
Beberapa bulan setelah perubahan awalnya, Salis sudah terbiasa dengan sindiran teman-temannya. Dia tak pernah tau mengapa dia bisa begitu kuat saat itu, tapi yang dia tau sang ayah mendukungnya. Bagi dia, tak perlu orang lain untuk membuat dia kuat berdiri, ketika ayah masih memegang erat tangannya.
Sejak persahabatannya kandas, Salis lebih memilih berkunjung ke Masjid Kampus dan perpustakaan. Dan sungguh, Allah tau apa yang lebih dibutuhkan hamba-Nya. Satu hari ketika Salis duduk di teras Masjid Kampus, seorang gadis kecil berjilbab menghampirinya dan memberikan selebaran. Dalam lembar kecil itu, tertuliskan bahwa salah satu Sie Kerohanian Islam di kampusnya mengadakan sebuah seminar kemuslimahan. Dan entah dorongan dari mana, sesaat setelah membaca selebaran itu, dia langsung mendaftarkan diri sebagai peserta. Seminar kemuslimahan, mungkin jika yang membaca selebaran itu adalah Salis tanpa jilbab, selebaran itu hanya akan menghiasi tong sampah sebelum dia selesai membaca.
Dari selebaran itu, dari seminar kemuslimahan itu, Salis meneteskan air mata, hatinya seperti terhujam batu ketika pembicara menjelaskan betapa adzab Allah sangat mengerikan untuk perempuan yang tak mau menutup rambutnya dengan jilbab. Betapa Allah memurkai perempuan yang tau mau menggunakan jilbab pada kepalanya.
Malamnya, Salis masih sangat terbayang dengan apa yang telah dipaparkan oleh pembicara seminar yang diikutinya. Kembali air mata menetes dari kedua matanya, kakinya tergerak menuju meja rias. Matanya menatap wajah yang dipantulkan cermin, membayangkan bagaimana jika dia yang mendapatkan adzab itu. Sungguh jika boleh berteriak, dia ingin menangis sekencang-kencangnya saat itu. Menangisi dosa-dosa yang dia lakukan selama perjalanan hidupnya. Menangisi betapa dia sangat berdosa karena menolak keinginan bundanya, padahal itu demi kebaikan dia.
Salis merasa kosong, jiwanya sangat sepi, dia bahkan tak tau harus berbuat apa untuk menghapus dosa-dosanya. Hingga ia teringat nasihat bundanya, bahwa ketika keresahan menelisik dalam hati, sepatutnya manusia lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta. Meskipun dengan lemah, dia berusaha bangkit, diambilnya air wudhu, sholat tentu akan mampu membuat hatinya tenang, meski dia sadar, dirinya sangat hina. Hingga tak terasa dia terlelap dalam kedamaian sujudnya.
Salis bertemu bunda, beliau memberikan jilbab warna pink padanya. Menurut bundanya, Salis akan bertemu bunda disurga jika dia mau memakai jilbab itu. Mimpi, ya Salis bermimpi. Sejenak dia teringat tentang jilbab itu, bundanya pernah memberikan jilbab itu pada Salis untuk kado ulang tahunnya ke-17.
.........................................................................
Wanita setengah baya itu terlihat cantik dengan gamis warna coklat dan jilbab lebar warna yang sepadan. Senyum dibibirnya, dan tatapan sendu matanya membuat siapa saja akan tau betapa dia seorang wanita yang lembut dan penyayang. Wanita itu adalah Bunda Nafis, foto itu masih terpajang didalam kamar Salis. Mata Salis menelusuri tiap inci dari foto itu, mengagumi sosok bundanya yang sekarang telah bahagia.
“Ma, pantas ayah sangat mencintai mama. Mama cantik, anggun, lembut, penyayang, apalagi berjilbab. Salis malu, masak mamanya berjilbab tapi Salis kayak gini. Mama, makasih sudah ajarkan Salis tentang kehidupan. Mama benar, memang sudah waktunya Salis memakai jilbab, meskipun sebenarnya sudah terlambat. Tapi mama pernah bilang kan, lebih baik kita terlambat berbuat kebaikan daripada kita tidak berbuat kebaikan sama sekali. Salis sekarang mantap berjilbab ma, meskipun kemarin masih asal-asalan, mulai sekarang Salis akan belajar bagaimana berjilbab dengan benar. Salis sayang mama.”
Senyumnya terukir manis dari bibir tipisnya, lesung pipit turut menghiasi wajahnya. Gadis itu masih duduk dengan tenang disalah satu meja disebuah rumah makan, menunggu menu pesanannya datang. Cantik, dengan rok biru tua dan kemeja warna pink serta jilbab lebar warna serupa memperlengkap kecantikan gadis itu.
Dia adalah Salis, Rahmanita Salisa, gadis yang dulu tak berjilbab bahkan membenci jilbab, saat ini terlihat anggun dengan jilbab yang menutupi kepalanya. Dialah gadis itu yang menolak permintaan ibundanya untuk berjilbab, gadis yang merelakan persahabatan dan kekasihnya demi jilbab, dia yang mengalami guncangan hebat karena seminar tentang jilbab dan gadis itulah yang saat ini bahagia dengan jilbab. Itulah Salis yang mengalami perubahan besar dalam hidupnya.

“Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih adalah wanita yang tidak mau menutupi rambutnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram.” (Al-hadits)


 (cerpen ini pernah diikutsertakan dan memenangkan lomba True Story VI-Day GAMAIS FKM Undip pada oktober 2014, diposting ulang dengan sedikit perubahan)